Indonesia punya sejarah panjang tentang gerakan politik
kaum buruh. Sejak abad XIV hingga abad XIX Indonesia menjadi pusat
perdaganagn dunia, karena berlimpahnya hasil bumi berupa rempah-rempah
seperti: lada, pala, ketumbar, kayu manis, kunyit, dan jahe yang
diperdagangkan para pedagang dari India, Cina, Persia, Portugis,
Spanyol, Inggris, dan Belanda. Disamping berdagang, mereka juga
menyebarkan agama-agama seperti: agama Hindu, Budha, Konghuchu, Kristen,
dan agama Katolik. Untuk mendapatkan keuntungan ekonomi tersebut mereka
menggunakan politik konflik dan intrik-intrik antara raja-raja dengan
bangsawan.
Kedudukan dan posisi
Nusantara waktu itu dalam hubungannya dengan perekonomian dunia,
menjadikan wilayah Hindia Belanda ini sumber bahan mentah, tempat
penanaman modal, dan pemasaran hasil produksi perkebunan, serta
banyaknya buruh murah. Dengan lahirnya imperialisme Belanda itu lahir
pula gerakan politik kaum buruh di Nusantara. Di satu sisi, terjadi
penumpukan modal asing dan industri kapitalis serta pusat perdagangan,
di sisi lain muncul banyak tenaga kerja dan buruh murah.
Buruh menjual tenaga untuk
mendapat upah pada abad XIX, terutama di perkebunan swasta yang
berkembang di Jawa, Sumatra, Maluku dan Sulawesi. Penetrasi kapitalisme
dalam wilayah pedesaan ditunjukkan dengan hadirnya para petani yang
tidak memiliki tanah, dan bekerja pada tuan tanah atau perkebunan swasta
untuk mendapat upah. Sementara itu di kota besar seiring perkembangan
teknologi muncul pekerjaan seperti masinis, sopir, montir, pegawai
kantoran, pegawai pos dan sebagainya.
Munculnya buruh upahan itu
tidak seketika menghadirkan gerakan buruh yang terorganisir dan bercorak
modern. Perubahan cara pandang para pekerja kereta api, pekerja surat
kabar, dan kaum terdidik menjadikan semua itu elemen penting yang
membawa perubahan besar pada abad XX. Orang-orang bumiputra yang
berpendidikan kemudian dikenal sebagai tokoh pergerakan, seperti Budi
Oetama dan Sarekat Dagang Islam, serta gerakan perkumpulan/organisasi
lainnya.
Sebaliknya gerakan buruh
awalnya digerakkan oleh orang-orang Belanda. Di Eropa pada masa itu
gerakan buruh sudah dikenal secara luas dalam masyarakat, sehingga bukan
hal aneh jika timbul gerakan politik kaum buruh di Jawa yang dipelopori
orang-orang Eropa dan kaum terpelajar bumiputra. Lantas, bagaimana
gerakan politik kaum buruh di Indonesia lahir dan berkembang? Bagaimana
peran Semaun dan Bung Karno dalam kaitan dengan gerakan politik kaum
buruh ini?
Pra Kemerdekaan
Serikat buruh pertama di Jawa
didirikan tahun 1905 oleh buruh kereta api dengan nama Staatspoorwegen
Bond (SS Bond). Kepengurusan organisasi ini sepenuhnya masih dipegang
orang Belanda. Pada tahun 1910, orang-orang pribumi menjadi anggota
sekitar 826 orang dari 1.476 orang. Tetapi, orang-orang pribumi tak
punya hak pilih dan hak suara dalam organisasi tersebut. Serikat buruh
ini tidak pernah berkembang menjadi gerakan militan dan berakhir tahun
1908.
Pada tahun 1912 muncul
serikat buruh kereta api dengan nama Vereeniging van Spooor-en Tramweg
Personeel in Nederlandsch Indie (VSTP). Serikat ini memiliki basis luas,
karena melibatkan semua buruh tanpa membedakan ras, etnis, jenis
pekerjaan, kelamin, pangkat dan golongan dalam perusahaan. Organisasi
ini berkembang menjadi militan, terutama sejak 1913, ketika berada di
bawah pimpinan Semaun dan Sneevliet, sebagai perintis dan tokoh radikal
di Jawa hingga tahun 1925-an.
Selain kedua serikat buruh
ini, masih ada sejumlah organisasi buruh lain, seperti Perserikatan
Goeroe Hindia Belanda (PGHB), didirikan tahun 1912; Opium Regiebond
didirikan tahun 1915; Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB),
didirikan tahun 1916, di bawah pimpinan R. Sosrokardono; Vereeniging
Inlandsch Personeel Burgerlijk Openbare Werken (VIP-BOW), berdiri tahun
1916 didirikan oleh buruh pribumi; Personeel Fabriks Bond (PFB) tahun
1919 di bawah pimpinan R.M. Surjopranoto; Sarekat Boeroeh Onderneming
(SBO), didirikan tahun 1924 oleh buruh perkebunan; Serikat Pekerdja
Pelabuhan dan Pelayaran, dan buruh lain dari pertambangan, percetakan,
listrik, industri minyak, sopir, penjahit, dan sebagainya.
Pada tahun 1925 tercatat ada
sekitar seratus serikat buruh dengan 100.000 anggota. Bertambahnya
jumlah anggota dan serikat buruh itu berkaitan erat dengan aksi-aksi
propaganda yang dibuat aktivis melalui pamflet, selebaran, dan surat
kabar. Rapat umum yang dihadiri massa sering diadakan oleh aktivis untuk
mendapat dukungan politis.
Pada jaman itu, VSTP menjadi
serikat buruh yang memiliki anggota paling banyak dan militan. Di bawah
pimpinan Semaun serikat buruh ini terus memperjuangkan kepentingan kaum
buruh, seperti pembelaan hak-hak buruh, memperbaiki kondisi kerja dan
sebagainya. Dalam usahanya itu Semaun membuat sebuah buku panduan
(Penuntun Kaum Buruh, Semaoen, 1920) bagi aktivis gerakan buruh di
Hindia. Para pemimpin VSTP ini, dengan sejumlah tokoh sosialis,
kemudian mendirikan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV).
Sementara tokoh yang tidak setuju dengan gagasan itu kemudian membentuk
Indische Sociaal-Democratische Partij (ISDP) tahun 1917. ISDV kemudian
berubah jadi Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1920.
Sebagai catatan tambahan, di
China gerakan politik kaum buruh yang menjadi penopang partai komunis di
sana lebih didominasi oleh buruh tani dan perkebunan. Sementara gerakan
politik kaum buruh di Uni Soviet (Rusia) yang juga menjadi penopang
utama partai komunis lebih didominasi tenaga buruh pabrik dan buruh
industri. Ini yang membedakan dengan Indonesia, yang mengambil kombinasi
antara buruh tani, perkebunan, dan buruh pabrik atau industri.
Satu hal yang tak dapat
dilupakan adalah munculnya surat kabar sebagai organ masing-masing
organisasi. Pada dekade 1920-an tercatat di setiap kota besar, ada
penerbitan surat kabar sebagai corong organisasi buruh. Penerbitan surat
kabar menjadi elemen penting gerakan politik kaum buruh karena
masing-masing organisasi dapat mengemukakan pandangan mereka serta
melakukan perdebatan melalui sarana ini. Para aktivis mengandalkan surat
kabar sebagai sarana mengkritik kebijaksanaan pengusaha dan pemerintah.
Karena itu gerakan politik kaum buruh di Indonesia awalnya tidak bisa
dipisahkan dari aktivitas politik.
Pada periode 1940-1946
sejumlah serikat buruh kembali dibentuk, seperti; Serikat Boeroeh Goela
(SBG); Serikat Boeroeh Kereta Api (SBKA); Serikat Boeroeh Perkeboenan
Repoeblik Indonesia (Sarbupri); Serikat Boeroeh Kementrian Perboeroehan
(SB Kemperbu); Serikat Boeroeh Daerah Autonom (SEBDA); Serikat Sekerdja
Kementrian Dalam Negeri (SSKDN); dan Serikat Boeroeh Kementrian
Penerangan (SB Kempen). Banyak di antara pemimpin serikat-serikat buruh
ini menjadi tokoh gerakan buruh pada masa sebelumnya, dan ikut dibuang
pemerintah Hindia Belanda. Dengan sekian banyak serikat buruh seperti
ini, kembali muncul keperluan mendirikan sebuah federasi serikat buruh.
Mengenai pembentukan federasi
serikat buruh ini muncul perbedaan pendapat, hingga pada 21 Mei 1946
didirikan Gaboengan Serikat-Serikat Boeroeh Indonesia (GASBI) sebagai
hasil peleburan BBI. Perubahan nama ini terlihat dalam perubahan bentuk,
karena hanya organisasi yang dibentuk berdasarkan lapangan kerja, yang
dapat bergabung di dalamnya. Kenyataan ini sulit diterima oleh
organisasi buruh vertikal, seperti SB Minjak; SB Postel; Pegadaian;
PGRI; dan Listrik. Kemudian mereka membentuk Gaboengan Serikat Boeroeh
Vertikal (GSBV) Juli 1946.
Perpecahan itu tidak
berlangsung lama dan pada 29 November 1946 didirikan Sentral Organisasi
Boeroeh Indonesia (SOBSI), yang menggantikan kedua federasi sebelumnya.
Organisasi ini dipimpin tokoh-tokoh gerakan buruh seperti Harjono,
Asrarudin, Njono dan Surjono. Organisasi ini mendapat dukungan sejumlah
kekuatan politik seperti Partai Sosialis, PBI, Pesindo, Barisan Tani
yang mendukung pemerintahan Sjahrir.
Dalam azas pendiriannya
dinyatakan bahwa SOBSI bukan partai politik, tapi dalam perjuangannya
bekerja sama dengan partai-partai politik. Dasar organisasi yang dipilih
SOBSI adalah demokratis-sentralisme, artinya pengurus sentral dalam
melakukan tugasnya bertanggung jawab kepada kongres. Federasi ini dengan
cepat mendapat sambutan dari serikat-serikat buruh lain. SOBSI pada
dekade 1945-1950 menjadi federasi serikat buruh terkuat di Indonesia,
baik dari segi jaringan, anggota, dan finansialnya.
Pemikiran Bung Karno
Sejarah gerakan kemerdekaan
Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan sejarah pergerakan buruh. Ketika
perjuangan anti-kolonial mulai berbentuk gerakan politik massa, peranan
gerakan buruh terbilang sangat besar. Kehadiran gerakan dan serikat
buruh, seperti ditulis Ruth Mc Vey (1972), menandai perkembangan
menakjubkan dari perkembangan situasi revolusioner di Indonesia.
Soekarno, salah satu tokoh terkemuka saat itu, tidak bisa
dipisahkan dari gerakan politik kaum buruh dan gerakan massa, terutama
saat PKI dihilangkan oleh penindasan kolonial Belanda dalam panggung
terbuka perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Soekarno, setelah pidato
Indonesia Menggugat yang sangat populer, didaulat secara tidak langsung
sebagai pemimpin gerakan massa buruh. Bahkan oleh Dr. Sutomo, salah satu
tokoh pergerakan nasional saat itu, Soekarno diletakkan sebagai motor
dan kekuatan penggerak dari seluruh barisan kekuatan politik.
Akan tetapi, kendati gerakan
buruh telah menjadi elemen penting saat itu dan Soekarno juga punya
peranan di situ, tetapi nama Soekarno tidak setenar nama Semaun dalam
gerakan buruh. Saat itu, masyarakat begitu akrab dengan gagasan Soekarno
terkait dengan ide perjuangan nasional dan gagasan perjuangan buruh.
Soekarno memperoleh ide soal massa-actie dan machtvorming,
termasuk dalam membangun gerakan serikat buruh. Dalam tulisan berjudul
“bolehkan Sarekat Sekerja berpolitik?”, Soekarno telah mengkritik
gerakan kaum buruh yang tidak usah berpolitik. Dalam pandangan Soekarno,
perjuangan politik bagi kaum buruh dimaksudkan untuk mempertahankan dan
memperbaiki nasib politik kaum buruh, atau mempertahankan “politieke
toestand”. Menurut Bung Karno, Politieke toestand sangat terkait dengan gerakan buruh (Timur Subangun: 2012).
Soekarno juga mengatakan,
kaum buruh menginginkan kehidupan layak, upah naik, mengurangi
tempo-kerja, dan menghilangkan ikatan yang menindas, maka perjuangan
kaum buruh harus bersifat habis-habisan. Jika ingin mengubah nasib,
“kaum buruh harus menumpuk-numpukkan tenaga dalam serikat sekerja,
menumpuk-numpukkan machtvorming dalam serikat sekerja, dan
membangkitkan kekuasaan politik di dalam perjuangan.” “Politik
minta-minta satu kali akan berhasil, tetapi sembilan puluh sembilan kali
niscaya akan gagal”, demikian dikatakan Soekarno saat mengeritik
serikat sekerja yang hanya menuntut perbaikan nasib. Soekarno juga
menekankan bahwa “politik meminta-minta tak akan menghapus kenyataan
antitesa antara modal dan kerja”.
Dalam hal alat politik,
seperti juga kaum Leninis, Soekarno menganjurkan pendirian sebuah partai
pelopor, sebuah partai yang konsekwen-radikal dan berdisiplin. Partai
ini, seperti dikatakan Soekarno, harus merupakan partai yang kemauannya
cocok dengan kemauan marhaen, partai yang segala-galanya cocok dengan natuur (alam), partai yang terpikul natuur dan memikul natuur. Sebuah partai yang merubah pergerakan rakyat itu dari onbewust (tidak sadar) menjadi bewust (sadar).
Hanya saja, dalam perjalanan
menuju penghancuran stelsel imperialisme dan kapitalisme, Soekarno telah
menganjurkan persatuan seluruh kekuatan nasional untuk menggulingkan
penjajahan dan mencapai Indonesia merdeka. Sehingga, dalam praktek
politik, Soekarno mengharuskan pergerakan buruh mensubordinasikan
perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional. Meskipun akrab dengan
gerakan politik kaum buruh, Bung Karno sendiri tidak pernah menjabat
sebagai ketua resmi serikat buruh, seperti Semaun, Sneveelt, dan
Suryopranoto saat itu. Tetapi, Bung Karno menaruh dukungan besar
terhadap pergerakan politik kaum buruh untuk menopang dan mengisi
kemerdekaan Indonesia (FS Swantoro |
PS)