KATA PENGANTAR
Satu kekurangan besar yang sangat dirasakan oleh kader-kader gerakan buruh pada waktu belakangan ini ialah belum diketahuinya sejarah gerakan buruh Indonesia. Dengan perkembangan gerakan buruh sekarang ini, dimana tingkatan kesadaran berorganisasi dari kaum buruh sudah semakin tinggi, sehingga melahirkan serikat buruh pada hampir setiap cabang produksi, maka mulai dirasakan sungguh-sungguh pentingnya pengetahuan sejarah gerakan buruh Indonesia oleh kader-kader yang memimpin gerakan buruh sekarang ini. Memang adalah suatu kenyataan, bahwa kurangnya pengertian dari kader-kader buruh tentang sejarah gerakan buruh Indonesia, selama ini telah menjadi penghambat yang besar bagi perkembangan yang cepat daripada gerakan buruh sendiri. Kenyataan ini sangat mudah untuk dipahami jika diingat bahwa kader-kader yang memimpin gerakan buruh sekarang ini hampir seluruhnya masih sangat muda usianya. Dari kader-kader yang masih muda usianya, tentu saja tidak bisa diharapkan bahwa mereka bisa mempunyai pengalaman yang kaya di lapangan organisasi maupun di lapangan politik. Tetapi kekurangan yang disebabkan oleh usia yang muda ini bukannya tidak bisa diatasi. Dan jalan satu-satunya untuk mengatasi ialah mengisi kekurangan pengalaman itu dengan pengetahuan dari buku, pengetahuan dari sejarah. Tetapi justru buku tentang sejarah gerakan buruh Indonesia yang diperlukan ini belum tersedia selama ini.Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas ini, kita berkeyakinan bahwa terbitnya brosur sejarah Gerakan Buruh Indonesia sekarang ini akan mendapat sambutan yang hangat dari kader-kader buruh pada umumnya.
Penerbit
Jakarta, Desember 1952PENDAHULUAN
Masalah pokok dari masyarakat kapitalis. Masyarakat barang dagangan. Hukum-hukum ekonomi yang menguasai perkembangan kapitalisme. Zaman imperialisme dan pengaruhnya atas gerakan buruh. Menyusun organisasi buruh atas dasar nasional dan mengadakan kerjasama secara internasional.Masalah pokok dari masyarakat kapitalis dapat kita simpulkan dalam pertanyaan: Apa sebab di satu pihak ada manusia yang bekerja keras, tetapi walaupun demikian tidak mendapat hasil yang cukup untuk hidup sebagai manusia, sedangkan di pihak lain ada manusia yang hidup sangat mewah dengan bekerja sedikit atau samasekali tidak mesti bekerja untuk mendapatkan kemewahan itu. Atau kita simpulkan dengan perkataan lain: Bagaimana bisa terjadi, bahwa segolongan kecil manusia menguasai hasil pekerjaan orang banyak?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus mengenal sifat dari kapitalisme. Pertama-tama harus kita ketahui, bahwa kapitalisme ialah masyarakat barang dagangan. Apakah artinya masyarakat barang dagangan?
Masyarakat barang dagangan artinya, bahwa barang-barang yang diproduksi tidak ditujukan langsung untuk dipakai, tidak untuk memenuhi kebutuhan sendiri, tetapi ditujukan untuk dijual di pasar agar mendapat untung. Jadi tujuan pertama, bukan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi untuk mendapat keuntungan. Jadi bagi kapitalisme, yang penting dihasilkan bukannya barang yang dibutuhkan oleh Rakyat, tetapi barang yang paling banyak mendatangkan untung baginya. Kelanjutan daripada tujuan mencari untung ini ialah adanya produksi secara anarki dan adanya persaingan merdeka.
Perkembangan daripada kapitalisme tunduk pada hukum yang tertentu. Adalah kebesaran daripada Karl Marx (1818-1883) yang telah dapat membukakan hukum-hukum ekonomi dalam bukunya yang terkenal, yaitu “Kapital”. Ditemukannya teori nilai lebih oleh Marx segera menyinari masalah yang bagi penyelidik-penyelidik sebelum Marx merupakan masalah yang gelap, gelap bagi ahli ekonomi borjuis maupun bagi kritikus-kritikus sosialis. Karl Marx dan Frederick Engels (1820-1895) telah menemukan “hukum gerak” daripada kapitalisme, dan dalam banyak bukunya telah membeberkan bentuk dan akibat daripada sistem kapitalis. Dalam pelajaran ekonominya, yaitu ekonomi politiknya, Marx tidak hanya mengajar proletariat tentang bagaimana kedudukannya dalam masyarakat kapitalis, tetapi juga memberikan jaminan-jaminan pada proletariat akan kemenangannya sendiri.
Dalam pertengahan abad ke-19, di negeri-negeri yang sudah maju, perusahaan-perusahaan kepunyaan suatu famili bergabung menjadi satu dan dengan demikian membuka jalan bagi industri cara besar-besaran. Kapital untuk industri mulai berpadu dengan kapital: bank, yang melahirkan kapital finansial. Jadi, kapital finansial ialah perpaduan antara kapital bank dengan kapital industri. Di Amerika Serikat kapitalis besar seperti JP. Morgans mulai menanamkan modalnya yang besar ke dalam industri, memajukan dan menguasai industri, misalnya United States Steel Corporation. Di Jerman “bank dagang” seperti Darmstadter, Deutsche, dan Dresdener melakukan pekerjaan terutama dalam memajukan, memberi modal dan mengawasi perusahaan industri.
Peluasan ekonomi Jerman maju dengan sangat pesat. Sejak tahun 1873, kaum kapitalis Inggris untuk pertama kalinya mulai mendapat “saingan luar negeri” yang sungguh hebat. Perlombaan mencari pasar, mencari sumber bahan mentah dan mencari jalan yang menguntungkan untuk mengekspor kapital, menimbulkan perebutan tanah jajahan. Pembagian dunia di antara negara-negara penjajah ini selesai pada akhir abad ke-19.
Kapitalisme yang sudah mencapai perkembangannya sebagai yang diterangkan di atas, dinamakan imperialisme. Jadi, imperialisme adalah tidak lain daripada kapitalisme yang sudah mencapai tingkat yang paling tinggi, tingkat yang sudah mendekatkan kapitalisme kepada liang kuburnya, yaitu di mana kapital bank dan kapital industri sudah berpadu menjadi satu, menjadi kapital finansial. Tingkat imperialisme dicapai oleh kapitalisme pada peralihan dari abad ke-sembilan belas ke abad ke-duapuluh. Pada tingkat ini seluruh dunia sudah dikuasai oleh kapital dan semua daerah koloni sudah dibagi-bagi di antara negara-negara imperialis. Dengan demikian sistem produksi kapitalis menjadi satu sistem dunia.
Dalam zaman imperialis rumah tangga dunia dikuasai oleh satu sistem ekonomi. Di dalam rumah tangga dunia yang satu ini terdapat berbagai grup negara yang satu dengan lainnya bertentangan, yang antara lain dengan jalan peperangan berebutan daerah, berebutan sumber bahan mentah dan pasar.
Zaman imperialis besar pengaruhnya pada kemajuan gerakan buruh. Pertama, kemajuan industri secara besar-besaran melahirkan massa kaum buruh yang lebih besar lagi dan menggampangkan menyusun organisasi buruh di atas dasar kelas yang lebih luas.
Pada mulanya, kaum buruh hanya bersangkutan dengan kaum majikan setempat. Ini pula yang menyebabkan gerakan buruh di Inggris terhambat kemajuannya oleh perasaan kedaerahan dan perasaan golongan (ingat Owenisme dan Chartisme pada pertengahan yang pertama dari abad ke-19).
Sekarang kaum buruh mesti menghadapi persekutuan-persekutuan perusahaan besar yang meliputi seluruh negara, jadi tidak lagi menghadapi orang perorangan. Dengan sendirinya, organisasi yang bisa dengan tepat melindungi kepentingan kaum buruh, hanya organisasi serikat buruh yang disusun di atas dasar nasional (meliputi seluruh negara), dan bersamaan dengan itu mengulurkan tangannya hingga keluar batas daerah-daerah nasional juga. Yang terakhir ini adalah penting, mengingat bahwa dalam zaman imperialis rumah tangga dunia dikuasai oleh satu sistem ekonomi.
Hanya dalam hubungan seperti diterangkan di atas kita bisa memahami masyarakat Indonesia dan hubungannya dengan dunia luar. Dan hanya dalam hubungan itu pula kita bisa memahami gerakan buruh dan gerakan Rakyat Indonesia, serta hubungan gerakan nasional ini dengan gerakan buruh dan gerakan Rakyat sedunia.
BAB I. IMPERIALISME DI INDONESIA
Penghapusan perbudakan “cultuurstelsel” dan monopoli negara. Zaman kapitalis industri di Indonesia. Permulaan zaman imperialis di Indonesia dan timbulnya proletar industri. Kedudukan Indonesia dalam ekonomi dunia. Walaupun sudah ada industri-industri modern, tetapi Indonesia adalah negeri agraria atau negeri borjuis kecil.Sebelum tahun 1870, eksploitasi (penghisapan) yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda terhadap Rakyat Indonesia didasarkan atas peraturan “cultuurstelsel”. Peraturan ini dilahirkan dalam tahun 1830 di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal van den Bosch (gubernur jenderal di Indonesia tahun 1830-1833, kemudian tahun 1833-1839 menjadi menteri jajahan). “Cultuurstelsel” diadakan dengan maksud supaya Indonesia bisa membikin sehat keuangan negara Belanda yang sedang bangkrut disebabkan oleh pengeluaran untuk melawan Dipo Negoro (perang Dipo Negoro tahun 1825-1830, dan untuk ini negara Belanda harus mengeluarkan f.20.000.000,—), untuk menindas perlawanan bangsa Belgia terhadap Belanda (pemberontakan Belgia 1830-1839), dan disebabkan oleh keadaan ekonomi negeri Belanda yang pada umumnya sangat jelek ketika itu. Apa sebab justru van den Bosch yang dikirim ke Indonesia oleh raja Belanda Willem I? Karena van den Bosch mempunyai pengalaman sebagai gubernur Guyana-Belanda di bagian Utara dari Amerika Selatan, dimana dilakukan kerja perbudakan sebagai dasar penghisapan kolonial.
“Cultuurstelsel” mewajibkan kaum tani : 1) menyerahkan hasil buminya pada pemerintah Hindia Belanda; 2) kerja paksa (rodi) untuk pemerintah; 3) memikul berbagai macam pajak.
Kemudian kewajiban “menyerahkan sebagian hasil buminya” dan “kerja-paksa”, diganti dengan “menyerahkan sebagian tanahnya” untuk ditanami bahan-bahan ekspor yang laku pada waktu itu (kopi, teh, torn atau indigo). Rakyat diwajibkan mengerjakan tanah bagian pemerintah mulai dari membuka tanah, menanam, memelihara, menjaga, memetik, memelihara hasilnya, mengangkut ke gudang, menjaga gudangnya, hingga bahan-bahan itu terjual. Pekerjaan ini semua dikerjakan dengan paksaan. Dengan “cultuurstelsel” ini pemerintah Hindia Belanda memegang monopoli atas hasil ekspor Indonesia dengan tiada kongkurensi dari siapapun. Dengan demikian jelaslah, bahwa “Cultuurstelsel” ditambah dengan kekuasaan raja di berbagai daerah, merupakan penghisapan dan penindasan yang sangat kejam atas kaum tani Indonesia oleh kapital dagang asing (Belanda) dan oleh raja-raja yang dilakukan dengan sewenang-wenang, secara memusat maupun secara lokal.
Oleh pemerintah Hindia Belanda ditetapkan, bahwa yang menampung hasil bumi ialah Nederlandse Handel Maatschappij, yaitu maskapai yang didirikan oleh Raja Willem I. Di samping menyerahkan sebagian hasil buminya kepada pemerintah Hindia Belanda, kaum tani masih diharuskan menyerahkan sebagian dari hasil buminya kepada kaum bangsawan bumiputera dan harus mengerjakan pekerjaan untuk kaum bangsawan dengan tidak dibayar. Dengan demikian, di bawah “cultuurstelsel” yang masih tinggal bagi kaum tani hanya kemelaratan belaka. Oleh karena itu kaum tani mengadakan perlawanan-perlawanan yang sengit terhadap “cultuurstelsel” dengan mengadakan pemberontakan-pemberontakan setempat atau dengan mengadakan perlawanan secara diam-diam terhadap pelaksanaan kerja paksa.
Kebalikan daripada kemelaratan bagi kaum tani, dengan adanya “cultuurstelsel” negara Belanda dapat mengangkut keuntungan beratus-ratus juta florin (rupiah Belanda). Tentang kekejaman “cultuurstelsel” ini telah diadakan kritik yang sangat tajam oleh Multatuli (nama samaran Eduard Douwes Dekker, hidup tahun 1820-1887), yaitu seorang Belanda yang dalam tahun 1856 menjadi Asisten Residen di Lebak, Banten, dalam bukunya yang tersohor “Max Havelaar”. Multatuli adalah masuk golongan penulis revolusioner, walaupun dia tidak mengetahui jalan keluar daripada keadaan yang tidak baik yang dikutuknya.
Sangat menarik hati, bahwa Frederick Engels dalam suratnya kepada August Bebel (sosialis Jerman, 1840- 1913 ) pada tanggal 18 Januari 1884 menerangkan, bahwa keadaan di Jawa di bawah “cultuurstelsel”, dengan eksploitasi negara yang tak terbatas, adalah contoh yang sangat baik bagi kaum “sosialis” yang pada waktu itu memandang “sosialisme-negara” sebagai juru selamat. Jawa dengan “cultuurstelsel”nya adalah model bagi sosialisme-negara yang dicita-citakan oleh kaum “sosialis”. Dibanding dengan praktek “cultuurstelsel” Belanda di Jawa, apa yang dilakukan oleh Bismarck (pemimpin reaksioner dari negara Jerman tahun 1815-1898) hanyalah perbuatan kanak-kanak. Engels mengatakan, sebagai ejekan kepada kaum “sosialis”, bahwa di Jawa “pemerintah Belanda dengan sangat bagus secara sosialis telah mengorganisasi seluruh produksi atas dasar masyarakat desa yang masih komunis kuno dan penjualan daripada hasil produksi berada dalam tangan negara”. Dan kita ketahui bahwa dari sosialisme-negara inilah dikeduk keuntungan beratus-ratus juta. Demikianlah kekuasaan negara kapitalis atas produksi dan distribusi sama sekali tidak berarti sosialisme.
Sifat monopoli dari pemerintah Belanda seperti diterangkan di atas, menjadi penghalang yang sangat besar bagi perkembangan modal partikelir dari kaum borjuis Belanda yang sedang tumbuh. Sesuai dengan perkembangan kapital industri partikelir di negeri Belanda, pada akhir abad ke-19 timbullah dorongan yang sangat besar dari kalangan borjuis Belanda untuk melebarkan sayapnya ke tanah jajahan, artinya untuk mengekspor modalnya ke Indonesia. Ini menimbulkan perjuangan politik yang sengit di negeri Belanda. Di satu pihak golongan pemerintah, yaitu golongan yang mempertahankan “cultuurstelsel” dan monopoli-negara, sedangkan di pihak lain golongan kaum liberal, yaitu kapitalis industri partikelir Belanda yang membela sistem “baru” dan menganjurkan “kerja merdeka” di Indonesia, sebagai kebalikan daripada sistem monopoli-negara dan kerja-paksa.
Sekalipun pihak pemerintah keras mempertahankan sistem monopoli-negara dan kerja-paksa, tetapi akhirnya kaum kapitalis industri partikelir dan “kerja merdeka”' mendapat kemenangan. Pada 1 Januari 1860 dalam prinsipnya perbudakan di Jawa dihapuskan. Dalam tahun 1860 hari kerja untuk negara, apa yang disebut rodi (herendienst), secara resmi masih berjumlah “52 hari dari 10 jam” saban tahun, dan dalam jumlah ini belum dihitung kewajiban kerja untuk kaum feodal, untuk pegawai negeri dan untuk desa. Penghapusan sepenuhnya daripada tanam-paksa untuk perusahaan gula baru dilakukan tahun 1890.
Dalam tahun 1870 diadakan undang-undang agraria, yaitu undang-undang yang menjamin didapatnya tanah untuk kepentingan kapital partikelir. Ini adalah pembukaan pintu yang definitif bagi kapital industri partikelir untuk ambil bagian dalam penghisapan kolonial. Dengan demikian, tahun 1870 adalah permulaan perpindahan dari politik kapital dagang monopoli ke politik kolonial “baru” daripada kapital industri, perpindahan dari sistem monopoli ke sistem persaingan merdeka. Dalam tahun 1870 itu juga diadakan undang-undang gula, yaitu undang-undang yang memberi kebebasan pada kapital partikelir untuk mengusahakan gula.
Dengan dibukanya Terusan Suez tahun 1869, hubungan antara Nederland dengan Indonesia dipermudah. Ini membukakan kemungkinan lebih besar lagi bagi perkembangan kapital partikelir. Tahun 1870 didirikan maskapai pelajaran Stoomvaart Maatschappij Nederland (SMN) yang mengatur hubungan Amsterdam-Indonesia. Tahun 1870 didirikan hubungan kereta api yang pertama antara Semarang-Surakarta. Tahun 1883 didirikan N.T. Rotterdamse Lloyd (RL) sebagai hasil perkawinan antara kapital Inggris dengan Belanda (NHM) dan kapal-kapalnya berlayar di bawah bendera Belanda. Untuk perhubungan interinsuler oleh SMN dan RL dibentuk N.V. Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), jadi juga sebagai hasil perkawinan antara kapital Belanda dengan kapital Inggris. Untuk menyaingi SMN dan KPNI, maskapai pelayaran di Liverpool (Inggris) Alfred. Holt & Co dalam tahun 1891 mendirikan De Nederlandse Stoomvaart Maatschappij “Ocean”.
Karena kapital bank memegang rol yang sangat penting dalam peralihan dari zaman kapital dagang monopoli ke zaman imperialis (zaman peralihan itu di Indonesia ialah dari tahun 1870 sampai 1895), maka penting diketahui rol bank-bank kolonial di Indonesia.
Yang sangat penting ialah rol dari Javasche Bank sebagai bank setengah-resmi dengan hak-hak istimewanya. Bank ini didirikan tahun 1828, jadi tepat ketika menghadapi zaman “cultuurstelsel” dan monopoli negara. Kepada Javasche Bank diberi hak untuk mengeluarkan uang kertas. Kapital partikelir kurang perhatiannya pada Javasche Bank, karena di bawah kekuasaan monopoli-negara, fungsi daripada bank adalah sangat terbatas dan sifatnya yang setengah-resmi tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat kapitalis yang modern. Baru tahun 1889 fungsi Javasche Bank diperluas, artinya dibolehkan membeli dan menjual wesel luar negeri, boleh memberikan kredit dan boleh memasukkan kapitalnya ke dalam perdagangan efek dan hipotik. Sebelum tahun 1889, Javasche Bank mempunyai sifat bank-emissie yang setengah feodal. Dan sifat ini kemudian juga masih terus dipertahankan, yang antara lain kelihatan dari kenyataan bahwa presiden Javasche Bank harus diangkat oleh gubernur jenderal dengan persetujuan Raja Belanda.
Hampir bersamaan waktunya dengan didirikannya Javasche Bank, dalam tahun 1824 didirikan Nederlandse Handel Maatschappij (NHM) atau FACTORIJ, yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi salah satu bank kolonial yang terpenting di Indonesia. Pada mulanya maskapai ini adalah satu perusahaan dagang dan perkapalan yang erat hubungannya dengan pemerintah Belanda dan dengan kaum istana Belanda. Teranglah, bahwa maskapai ini mendapat hak-hak monopoli dan seluruh hasil bumi yang didapat negara dari “cultuurstelsel” jatuh ke dalam tangan maskapai ini. Dan karena hasil-hasil bumi ini sangat penting bagi industri di negeri Belanda dan di Indonesia (pabrik teh, gula, dan sebagainya), maka jelaslah bahwa NHM mempunyai pengaruh yang besar atas industri-industri itu.
Bertambah besarnya pengaruh kapital partikelir di Indonesia kelihatan pada bagian kedua dari abad ke-19 dengan didirikannya sejumlah bank-bank kolonial, antara lain: Tahun 1857 didirikan Nederlands-Indische Escompto Maatschappij, yaitu bank yang tertua yang didirikan dalam periode perkembangan kapital industri partikelir. Pekerjaan bank ini ialah menggerakkan kapital yang ada di Indonesia. Kewajibannya ialah membikin operasi-operasi di lapangan kredit dan wesel. Dalam tahun 1863 didirikan Nederlands-Indische Handelsbank (NIHB), yang sejak tahun 1950 bernama Nationale Bank, di mana di dalamnya, kecuali kapital Belanda juga ikut serta kapital Jerman dan Prancis.
Bank ini bertujuan memberi persekot (uang muka) dan memberi dorongan pada perusahaan-perusahaan perkebunan, perdagangan dan industri. Oleh bank ini dalam tahun 1885 didirikan Nederlands-Indische Landbouw Maatschappij, dan dengan perantaraan maskapai ini NIHB menguasai onderneming-onderneming kolonial. Dalam tahun 1863 itu juga didirikan Internationale Credit en Handelsvereniging Rotterdam, sebagai bagian daripada Rotterdamse Bank yang sangat terikat pada kapital Jerman. Mula-mula yang diutamakan oleh bank ini ialah soal perdagangan dan komisi, di Indonesia maupun di negeri-negeri lain, tetapi ternyata kemudian perhatian bank ini terutama ditujukan kepada menguangi dan mengontrol secara langsung perusahaan-perusahaan dagang dan perkebunan di Indonesia. Dalam tahun 1881 didirikan Koloniale Bank dengan program “menguangi perusahaan-perusahaan pertanian dan industri”.
Demikianlah kita lihat, bahwa dalam bank-bank kolonial di Indonesia tidak hanya ada kapital Belanda, tetapi juga kapital negeri-negeri lain. Di samping bank-bank kolonial di atas, juga mengadakan operasi di Indonesia agen-agen bank asing bukan-Belanda di antaranya Oriental Bank Corporation dan Chartered Bank of India, Australia and China, yang terutama mengadakan operasi di lapangan kredit. Pengaruh yang terpenting daripada kapital luarnegeri dilakukan dengan melewati bank-bank dan konsern-konsern finansiil-industri Belanda. Sudah cukup terkenal bahwa maskapai minyak Royal Dutch (Koninkelijke Petroleum Maatschappij) pokoknya adalah onderneming Inggris, sedangkan dalam perkebunan karet di Sumatera berkuasa kapital Amerika.
Pada umumnya bank-bank kolonial di atas timbul pada permulaan zaman munculnya kapital industri partikelir sebagai badan yang mengurus kredit dan keuangan. Tetapi dapat dipastikan, bahwa segera perusahaan kolonial jatuh di dalam kekuasaannya, ia menjalankan kontrol yang menentukan atas perusahaan-perusahaan kolonial itu. Sebagai contoh dapat kita lihat dari kenyataan-kenyataan sebagai berikut: Sudah sejak tahun 1875 NHM mempunyai: 4 kebun kopi, 1 kebun tembakau, 1 kebun indigo; di Jawa ia mengontrol 3 pabrik gula, di Jawa dan Sumatera 3 perusahaan eksploitasi hutan. Demikian pula NHM telah membuka perusahaan minyak tanah yang pertama di Indonesia. Dalam tahun 1875 NHM ambil bagian dalam perkebunan, dalam kredit dan hipotik serta persekot untuk hasil bumi, yang seluruhnya berjumlah 57 juta florin. Tahun 1915 NHM mempunyai 9 kebun tebu dan 7 buah pabrik di Jawa. Selain daripada itu bank ini mengontrol: 22 pabrik gula, sejumlah kebun kopi, 14 kebun tembakau, 12 kebun teh dan 14 kebun karet.
Dalam tahun 1895 timbul serangan krisis yang hebat, yang menghancurkan sebagian besar kapitalis-kapitalis partikelir, dan ini memberi kesempatan pada kapital finans untuk berkuasa sepenuhnya. Kekuasaan kapital finans ini berpusat pada segerombolan kaum uang di Amsterdam. Dengan ini berarti, bahwa sejak tahun 1895 Indonesia menginjak zaman imperialisme, yaitu tingkat tertinggi daripada kapitalisme, di mana kapital bank dan kapital industri berpadu menjadi kapital finans, dan monopoli daripada kapital finans ini menguasai kehidupan ekonomi dan politik Indonesia.
Sangat menarik hati, bahwa justru NHM, yang didirikan sebagai alat kapital dagang monopoli dalam zaman sistem kerja-paksa ( “cultuurstelsel”), yang berkembang menjadi satu badan finansiil kolonial yang paling berkuasa daripada zaman imperialis. Ini menunjukkan adanya perpindahan yang boleh dikatakan cepat dari kapital dagang monopoli kepada kapital finans monopoli. Zaman antara kapital dagang monopoli dengan kapital finans monopoli adalah zaman industri partikelir, dan zaman ini tidak lama di Indonesia, yaitu dari tahun 1870 sampai 1895.
Tidak lamanya kapital industri partikelir di Indonesia, atau lebih tepat jika dikatakan terlambatnya mulai kapital industri, disebabkan karena industri di negeri Belanda adalah terbelakang jika dibanding dengan Inggris yang terkenal sebagai “bengkel dunia”. Selama masa tahun 1840-1860 di Inggris sudah berlaku kongkurensi merdeka dan perdagangan bebas, dan politisi borjuis di Inggris sudah tampil ke muka dengan tuntutan “kemerdekaan” untuk koloni, tetapi di Indonesia ketika itu masih merajalela kerjapaksa dan monopoli negara. Dan sebagai sudah diterangkan di atas, baru tahun 1870 negeri Belanda membuka kesempatan bagi kapital partikelir dan perdagangan partikelir untuk bekerja di Indonesia.
Untuk menjamin keselamatan kapital yang diekspor, seluruh daerah Indonesia harus ditundukkan di bawah kekuasaan Belanda secara politik maupun secara militer, dan kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas bagi perkembangan kapital harus diselidiki. Untuk menundukkan seluruh Indonesia di bawah kekuasaan Belanda, maka dilakukanlah peperangan kolonial di berbagai bagian Indonesia. Di mana-mana timbul perlawanan-perlawanan sengit dari Rakyat, terutama dari kaum tani. Tetapi karena perlawanan-perlawanan kaum tani tidak mendapat pimpinan yang tepat, karena dikhianati oleh kaum feodal, dan karena persenjataan yang lebih sempurna dari pihak Belanda, perlawanan-perlawanan kaum tani dapat ditindas di mana-mana dan ditetapkanlah kekuasaan Belanda di daerah-daerah luar Jawa (di Jawa sudah lebih dulu dikuasai). Demikianlah pemerintah Belanda memperkuat atau meluaskan kekuasaannya di Bali (pertempuran penghabisan tahun 1908), di Lombok (perang tahun 1894-1895), di Sumbawa, Dompo, Flores, Boni (perlawanan penghabisan tahun 1908), Banjarmasin (1906), Jambi (1907), Riau (1913), Tapanuli (Singa Mangaraja ke-10 tewas tahun 1907), Aceh (perang 1873-1908).
Di samping tindakan-tindakan politik dan kemiliteran, untuk menjamin keuntungan-keuntungan yang luar biasa bagi kapital yang diekspor, pemerintah Belanda mengadakan pemeriksaan-pemeriksaan di lapangan ilmu tanah, ilmu bumi, ilmu tumbuhan, ilmu hewan, dan sebagainya. Juga dipelajari adat-istiadat, bahasa, agama, kesenian dan sejarah anak negeri. Pada tahun 1893-1898 diadakan pemeriksaan secara ilmu di Kalimantan, dan tahun 1893-1903 di Sulawesi. Pengetahuan-pengetahuan tentang alam dan tentang masyarakat Indonesia dipergunakan oleh kaum imperialis untuk kepentingan pertambangan, pertanian dan perkebunan, pemerintahan, dan sebagainya. Demikianlah ilmu pengetahuan dipakai oleh kaum imperialis untuk menguras kekayaan alam Indonesia dan untuk terus memperbudak Rakyat Indonesia.
Imperialisme telah menghancurkan “cultuurstelsel” dan monopoli-negara, karena sistem ini sudah tidak cocok lagi dengan tingkat kapitalisme yang sudah mencapai puncaknya. Apa yang dimaksudkan oleh kaum liberal dengan sistem “baru” dan “kerja merdeka” kemudian berwujud sistem “baru” dalam mengeksploitasi dan “kerja merdeka” bagi kapital monopoli. Sedangkan bagi kaum buruh dan kaum tani sebagaimana juga dalam zaman “cultuurstelsel” dan monopoli-negara, yang tersedia hanyalah kemelaratan. Di villa-villa yang indah-indah, kelas satu dan di gedung-gedung di kota-kota besar yang bermandikan cahaya listrik di waktu malam, tinggallah kaum penghisap, yaitu orang Belanda dan orang-orang Eropa lainnya. Dan di samping kemewahan yang luarbiasa itu hiduplah berjuta-juta kuli bangsa Indonesia, yaitu yang diikat oleh kontrak-kontrak yang berdasarkan “ordonansi kuli” (yang pertama untuk Sumatera Timur tahun 1880), dan jika mereka bekerja kurang keras sedikit saja, mereka mendapat pecut dengan rotan. Mereka terikat oleh apa yang dinamakan “poenale sanctie”, yaitu ketentuan hukuman dari pemerintah Hindia Belanda bagi mereka yang menjalani kontrak, misalnya bagi mereka yang menolak untuk bekerja atau yang melarikan diri karena tidak tahan siksaan.
Dari 100 kuli kontrak saban tahun meninggal 30 orang. Wanita muda tidak sedikit yang juga diangkut ke daerah-daerah perkebunan, jauh dari tempat kelahirannya, dengan upah beberapa sen sehari, dan mereka pada akhirnya banyak terpaksa menjalankan prostitusi.
Semuanya ini membuktikan, bahwa kaum imperialis telah mengganti “cultuurstelsel” dengan perbudakan secara baru, antara lain, perbudakan “poenale sanctie” untuk menjamin tenaga murah bagi onderneming (baru tahun 1931 “poenale sanctie” dihapuskan secara berangsur-angsur).
Dalam zaman imperialis kedudukan Indonesia dalam hubungan ekonomi dunia antara lain ialah :
Pertama: sebagai sumber bahan mentah: Indonesia mengirimkan ke luar negeri hasil-hasil perkebunan seperti karet, teh, tembakau, kopi, gula, kopra, kina, kapok, lada, rempah-rempah, dan sebagainya. Di samping itu juga mengekspor hasil pertambangan seperti minyak tanah, bauksit, timah, dan lain-lain.
Kedua: sebagai sumber tenaga buruh yang murah: Kaum imperialis tidak hanya menggunakan tenaga murah daripada buruh “merdeka” untuk membangun jembatan-jembatan, jalan-jalan kereta api, pelabuhan-pelabuhan, pembukaan daerah-daerah eksploitasi yang baru, dan sebagainya, tetapi mereka juga menggunakan kuli kontrak, yang diambil dari daerah-daerah pertanian di Jawa yang sangat melarat untuk dipergunakan di luar Jawa yang kekurangan tenaga kerja.
Ketiga: sebagai pasar untuk menjual hasil produksi negeri-negeri kapitalis: yang terutama mendapat pasar di Indonesia ialah barang tekstil, mesin-mesin, barang-barang keperluan pabrik, barang-barang hasil kimia, dan sebagainya.
Keempat: sebagai tempat penanaman modal asing: Sebelum krisis tahun 1929, kapital Belanda yang tertanam di Indonesia lebih kurang tiga perempat daripada semua kapital yang tertanam di Indonesia (semuanya kira-kira 6 miliar florin). Yang nomor dua besarnya ialah kapital Inggris, kemudian baru kapital Amerika Serikat, Jepang, dan lain-lain. Penanaman modal asing di Indonesia, di mana kekuasaan politik ada di tangan imperialis Belanda dan di mana kombinasi antara sistem penghisapan secara kapitalis dan purba-kapitalis (sebelum kapitalis) memungkinkan keuntungan kolonial yang luar biasa, adalah juga berarti lebih membikin Indonesia menjadi negeri yang tergantung dan lebih memperkuat kedudukan imperialisme.
Salah satu tujuan terpenting daripada politik kolonial kaum imperialis ialah memajukan industri negerinya sendiri. Oleh karena itu, politik kolonial dari imperialis menentang adanya perkembangan industri yang seluas-luasnya di Indonesia, dan inilah sebabnya kerajinan tangan dari Rakyat tidak berkembang menjadi industri modern sebagaimana terjadi di Eropa, dan inilah pula sebabnya mengapa kapital kolonial membatasi diri dengan hanya mendirikan industri pembantu untuk mengerjakan bahan mentah dan hasil lain guna diekspor.
Industri nasional sangat terbatas perkembangannya, misalnya hanya meliputi: perusahaan menganyam topi, tikar, keranjang, dan sebagainya; yang sudah sedikit maju ialah perusahaan batik dan rokok kretek. Besarnya perusahaan batik sangat bermacam-macam, ada yang mempunyai buruh 2-3 orang, ada juga belasan dan puluhan, dan ada juga yang sampai ratusan (di Jawa Tengah). Perusahaan-perusahaan batik ini sangat tergantung pada importir-importir besar bangsa asing yang mendatangkan keperluan-keperluan perusahaan batik. Sebagaimana juga perusahaan batik, perusahaan rokok kretek bekerja dengan alat-alat yang sederhana. Dengan sendirinya, perusahaan rokok kretek terus menerus didesak kedudukannya oleh industri-industri rokok Eropa yang modern. Perusahaan batik atau rokok dihalangi oleh politik imperialis.
Indonesia adalah negeri yang kaya pelikan (barang tambang). Di samping batubara dan minyak tanah, bumi Indonesia kaya dengan besi, emas, perak, sink, mangan, tembaga, elfrooin, air-rasa, iodium, asfalt, dan lain-lain. Jadi sebenarnya Indonesia mempunyai syarat-syarat untuk pembangunan industri di segala lapangan. Tetapi oleh kapital kolonial di Indonesia hanya didirikan industri pembantu untuk mengerjakan bahan mentah dan hasil lain-lain guna diekspor. Politik perampokan kolonial tidak tujukan untuk membikin maju alat-alat produksi guna kemajuan masyarakat Indonesia, tetapi ditujukan untuk menguras kekayaan alam Indonesia sebanyak-banyaknya dan dengan cara-cara yang paling banyak mendatangkan untung. Industri yang termasuk maju ialah pabrik gula, pabrik remiling, pabrik teh, pabrik tembakau, penyaring minyak tanah, dan sebagainya. Di samping itu, untuk memelihara perusahaan-perusahaan kolonial, didirikan bengkel-bengkel reparasi dan berbagai pabrik mesin kecil, industri-industri untuk keperluan kereta api, keperluan kendaraan bermotor, kapal, pelabuhan, dan sebagainya. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang Eropa didirikan perusahaan limun, bin, gas dan listrik.
Walaupun sistem kerja paksa dan monopoli negara sudah hapus, dan ini membuka kesempatan bagi perkembangan daripada kapitalisme, tetapi politik kolonial daripada imperialis menghalangi perkembangan industri yang sewajarnya. Dibanding dengan negeri-negeri Eropa yang sudah maju ekonominya, Indonesia adalah masih sangat terbelakang. Kira-kira empat perlima dari seluruh Rakyat Indonesia masih mengerjakan pertanian, sedang yang bekerja di lapangan industri besar dan kecil, di lapangan perdagangan, pertambangan, transport, dan lain-lain seluruhnya hanya kira-kira seperlima. Keadaan ini menunjukkan bahwa Indonesia, walaupun sudah ada perkembangan kapitalisme, adalah suatu negeri agraria, artinya negeri yang dilihat dari sudut ekonomi adalah terbelakang dan jumlah produksi nasionalnya sebagian besar terdiri dari hasil produksi di lapangan agraria. Indonesia adalah negeri borjuis kecil, artinya negeri, di mana perusahaan-perusahaan pemilik kecil, yaitu pertanian perseorangan yang kurang produktif, masih bercokol.
BAB II. TIGA PERTENTANGAN POKOK DALAM TUBUH IMPERIALISM
Pertentangan antara buruh dengan kapital. Pertentangan antara imperialis yang satu dengan imperialis lainnya. Pertentangan antara negara penjajah dengan Rakyat jajahan.Sejak Indonesia dalam tahun 1895 menginjak zaman imperialis, maka terdapatlah di Indonesia tiga pertentangan (kontradiksi) pokok dalam tubuh imperialisme itu sendiri. Tiga pertentangan pokok itu ialah
- pertentangan antara buruh dengan kapital, antara massa kaum buruh yang luas dengan grup-grup kecil yang sangat kaya, dan karena kayanya mereka berkuasa.
- pertentangan antara berbagai grup finansiil (kaum uang) dan berbagai grup negara imperialis dalam perjuangannya untuk mendapatkan sumber bahan mentah, untuk mendapat daerah-daerah asing.
- pertentangan antara segenggam bangsa yang berkuasa, yang “berkebudayaan”, dengan beratus-ratus juta bangsa jajahan dan setengah jajahan.
Dalam buku Sanusi Pane, Indonesia Sepanjang Masa, antara lain diterangkan bahwa pada tahun 1923 ditaksir modal asing di Indonesia ada 2.650 juta florin (rupiah Belanda). Untungnya pukul rata saban tahun 500 juta. Untung ini sebagian besar mengalir keluar negeri sebab di sanalah pemegang-pemegang andil dan direksi.
Dari keterangan Sanusi Pane di atas jelaslah, bahwa kaum kapitalis monopoli, yang menguasai seluruh hidupan ekonomi dan politik, berusaha untuk mendapat untung sebesar-besarnya dengan jalan memperbesar nilai lebih, yang tidak boleh tidak mesti diikuti oleh penghisapan yang lebih hebat dan oleh penurunan tingkat hidup dari kaum buruh. Keadaan ini yang memaksa kaum buruh untuk terus-menerus mengadakan perjuangan melawan serangan-serangan kapitalis monopoli terhadap tingkat hidupnya.
Dalam pertentangan antara buruh dan kapitalis monopoli, kaum kapitalis menggunakan negara kapitalis sebagai alatnya. Pada suatu keadaan, di mana mereka tidak mampu lagi mempertahankan kepentingan-kepentingannya secara demokrasi parlementer, maka merekapun memfasiskan sistem negara. Dalam zaman imperialis, negara kapitalis tidak hanya memainkan rol sebagai agen, tetapi juga ia menjadi diktator upah untuk kepentingan kaum monopoli.
Untuk membela kepentingan-kepentingannya, ada kalanya kaum buruh terpaksa mengadakan pemogokan-pemogokan secara massa. Dari mogok terhadap satu perusahaan, menjadi mogok terhadap semua perusahaan yang satu jenisnya, dan selanjutnya yang bermacam-macam jenisnya. Dari mogok terhadap perusahaan kapitalis menjadi mogok terhadap negara kapitalis, menjadi mogok politik. Demikianlah pertentangan-pertentangan antara buruh dengan kapital, makin lama makin tajam, dan ada kalanya kaum pemogok mesti berhadapan dengan negara kapitalis yang menggunakan kekuatan bersenjata untuk menindas pemogokan-pemogokan.
Adalah kewajiban dari tiap-tiap pemimpin buruh, untuk mengatur agar aksi-aksi kaum buruh : 1) dibenarkan dan masuk akal sebagian besar dari Rakyat sehingga mendapat simpati dan sokongannya; 2) dimulai di mana keadaan sedang baik untuk massa dan kemungkinan mendapat sukses adalah besar; 3) dimulai dan diakhiri ada titik yang paling tepat dan saat yang paling baik, tidak boleh merupakan perjuangan melawan musuh yang tidak ada ketentuan kapan selesainya.
Demikianlah sedikit keterangan tentang pertentangan yang pertama.
Mengenai pertentangan yang kedua, yaitu pertentangan antara imperialis yang satu dengan imperialis lainnya, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sebagaimana diterangkan di atas, karena kuatnya desakan aliran liberal, pemerintah Hindia Belanda terpaksa mengubah politik monopolinya dengan politik pintu terbuka (opendeur politik), artinya; Indonesia dibuka menjadi lapangan eksploitasi kaum modal dari segala bangsa. Sampai sebelum pecah perang dunia II yang menyerbu menjalankan eksploitasi di Indonesia, mengusahakan onderneming-ondermening erfpacht ialah modal Belanda, Inggris, Amerika, Jerman, Prancis, Belgia, Italia, Norwegia, Swedia dan Jepang. Dengan menjalankan politik pintu terbuka ini pemerintah Hindia Belanda memperhitungkan dua keuntungan: 1) keuntungan yang langsung, berupa kenaikan hasil pajak; 2) keuntungan yang tidak langsung, ialah pertahanan bersama antara negeri-negeri imperialis.
Karena banyaknya modal partikelir dari berbagai negeri yang ditanam di sini, jadi karena adanya kepentingan bersama, mereka akan bersama-bersama pula menjaga keamanan dan keselamatan Hindia Belanda, baik dari serangan dalam negeri yang berupa pemberontakan Rakyat, maupun yang berupa agresi dari negeri-negeri imperialis lain. Ingat pengalaman pemberontakan tahun 1926 di mana imperialis Inggris dan Amerika aktif menindas pemberontakan tersebut; ingat pengalaman selama Revolusi Rakyat Indonesia (1945-1948) dan pengalaman Provokasi Madiun, di mana kaum imperialis dan kaki tangannya berusaha menghancurkan gerakan Rakyat yang revolusioner.
Walaupun kapitalis monopoli di Indonesia sama-sama mengeksploitasi alam dan Rakyat Indonesia, ini sama sekali tidak berarti bahwa antara kapitalis-kapitalis monopoli dan di antara negeri imperialis satu dengan lainnya sudah tidak ada pertentangan lagi. Di daerah-daerah yang mereka kuasai mereka memang berusaha melenyapkan kongkurensi merdeka dan menggantinya dengan monopoli-monopoli mereka sendiri. Tetapi, mengingat wataknya dari kapitalisme yang sejak lahirnya sudah mengandung kongkurensi merdeka, maka ini sama sekali tidak berarti bahwa pertentangan di dalamnya sudah tidak ada lagi. Malahan pertentangan antara grup-grup monopoli dan kekuasaan imperialis satu dengan lainnya, menjadi makin tajam dari yang sudah-sudah. Salah satu puncak daripada pertentangan yang tajam ini kita alami dalam perang dunia ke-Il, di mana dengan kekerasan Indonesia dirampas oleh imperialis Jepang dari tangan imperialis Belanda.
Pertentangan antara imperialis yang satu dengan imperialis yang lain, inilah yang menjadi sebab yang pokok daripada perang imperialis. Timbulnya pertentangan ini, dan dari situ timbulnya peperangan, adalah akibat daripada perkembangan imperialisme yang tidak sama. Lenin memang mengatakan, bahwa kapitalisme monopoli sedang menuju kehancurannya, tetapi ini tidak berarti bahwa ia akan hancur sekaligus seluruhnya. Kehancuran sekaligus adalah tidak mungkin, karena perkembangan daripada imperialisme sendiri adalah tidak sama. Dan ini pulalah yang memungkinkan adanya sosialisme di satu negeri atau di beberapa negeri, walaupun di bagian-bagian lain dari dunia masih bercokol sistem kapitalisme. Untuk mengkonsolidasi negeri-negeri di mana kemenangan-kemenangan sudah tercapai, agar kekuatan ini bersama dengan kekuatan-kekuatan dari Rakyat negeri-negeri yang masih dikuasai oleh imperialis bisa merupakan kekuatan raksasa guna sama sekali menghancurkan sistem imperialisme, inilah yang membenarkan keterangan tentang mungkin dan perlunya sistem sosialisme dan kapitalisme hidup berdampingan secara damai. Dengan demikian jelaslah, bahwa untuk melaksanakan sosialisme di seluruh dunia, perang bukan hanya tidak dibutuhkan, tetapi mesti dicegah dan dikutuk.
Apabila satu atau satu grup negeri kapitalis sudah mencapai puncak perkembangannya, maka imbangan di dunia menjadi berubah. Negeri kapitalis yang perkembangannya lebih cepat, membutuhkan lebih banyak “Lebensraum” (ruang untuk hidup), padahal “Lebensraum” sudah selesai dibagi-bagi pada akhir abad ke-19. Maka kekuasaan yang sudah mencapai puncak perkembangannya berusaha untuk “memperbaiki” atau untuk “mengubah” imbangan dengan membagi-bagi dunia kembali, dan ini sama artinya dengan mengadakan perang baru. Untuk mengubah imbangan yang sudah rusak, imperialisme tidak mempunyai jalan lain kecuali perang.
Selama dan sesudah perang dunia kedua produksi Amerika Serikat meningkat dengan sangat cepat, sedangkan daerah pasar dan daerah bahan mentah baginya bertambah sempit (terutama dengan bebasnya Tiongkok). Inilah yang menyebabkan imperialis Amerika menjadi nekat untuk mendapatkan daerah pasar dan daerah bahan mentah yang sekarang sudah dikuasai oleh Rakyatnya sendiri atau dikuasai oleh negeri-negeri kapitalis yang lain dan ini pula keterangannya mengapa Amerika memelopori persiapan perang dunia ketiga. Karena bagi imperialis Amerika inilah satu-satunya jalan keluar.
Jadi, negeri-negeri kapitalis monopoli sangat berbeda dengan negeri-negeri di mana kaum buruh dan Rakyat sudah berkuasa. Di negeri sosialis tidak terdapat penghisapan kapitalis dan tidak mengenal kapital ekspor, dan negeri-negeri demokrasi Rakyat adalah negeri-negeri sedang dalam pembangunan sosialis, maka adalah sewajarnya jika negeri-negeri sosialis dan demokrasi Rakyat tidak membutuhkan perang.
Demikianlah sedikit keterangan mengenai pertentangan kedua.
Mengenai pertentangan ketiga, yaitu pertentangan antara bangsa penjajah dengan Rakyat jajahan dapat dijelaskan sebagai berikut:
Untuk melakukan eksploitasi yang tidak kenal malu atas Rakyat jajahan, kapitalis monopoli terpaksa mengadakan jalan-jalan kereta api, pabrik-pabrik, bengkel, perkebunan-perkebunan modern dan perusahaan-perusahaan dagang. Juga administrasi pemerintahan harus dibikin teratur.
Dalam buku Sanusi Pane yang tersebut di atas, antara lain diterangkan, bahwa perusahaan-perusahaan besar membutuhkan tenaga-tenaga juga lebih pintar untuk pekerjaan tata usaha rendah dan pertukangan. Pemerintah Belanda perlu juga memakai tenaga-tenaga yang begitu. Berhubung dengan itu didirikanlah sekolah-sekolah rendah, kemudian sekolah-sekolah menengah pertama, sekolah teknik, sekolah menengah tinggi, sekolah guru. Jumlah sekolah-sekolah itu sedikit sekali, makin tinggi makin sedikit, sebab juga dipentingkan ialah keperluan pemerintah Belanda dan perusahaan-perusahaan asing, bukan pendidikan Rakyat. Yang tamat dalam tahun pengajaran 1938-1939 hanya 96.159 orang pada sekolah rendah bumiputera dan 7.349 pada sekolah rendah Belanda-bumiputera, sedangkan bagi sekolah Belanda angkanya 3.743. Anak Belanda jauh lebih sedikit daripada anak Indonesia (penduduk Belanda dalam tahun 1930 kira-kira hanya 200.000 jiwa - DNA). Perbandingan ini makin jelek di sekolah-sekolah yang lebih tinggi (Mulo dan AIMS buat anak Indonesia, IBS dan Lyceum buat anak Belanda). Sekolah tinggi baru pada waktu akhir didirikan: Sekolah Tinggi Teknik, Sekolah Tinggi Kedokteran, Sekolah Tinggi Hukum (sebelum itu ada sekolah-sekolah yang bersifat menengah untuk kedokteran dan kehakiman). Buat pendidikan pegawai Pamong Praja ada Osvia, kemudian Mosvia dan sekolah tinggi Sekolah Dokter Hewan ada satu dan satu pula Sekolah Menengah Pertanian. Karena desakan perang dunia kedua didirikan cepat-cepat beberapa sekolah tinggi (antara lain: untuk pertanian dan kesusasteraan).
Kenyataan sebagai dierangkan oleh Sanusi Pane di atas memperlihatkan, bahwa pengajaran bagi orang Indonesia terbelakang sekali. Hal itu dapat dijelaskan lagi dengan jumlah orang yang tahu membaca dan menulis, tidak lebih dari 7%.
Dari keterangan di atas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa imperialisme telah menimbulkan keadaan baru di Indonesia. Pabrik-pabrik gula, karet, dan lain-lain serta pembuatan pelabuhan-pelabuhan, kereta api dan bengkel-bengkel, membutuhkan tenaga kerja penduduk. Alat-alat pemerintah yang makin meluas dan tumbuhnya perusahaan-perusahaan partikelir membutuhkan. lapisan Rakyat yang mempunyai kecerdasan dan yang cakap menjabat pekerjaan yang serba modern.
Walaupun kaum imperialis berusaha sekuat-kuatnya untuk mempertahankan hubungan feodal di desa, agar bisa mendapat keuntungan yang lebih besar dengan menggunakan cara feodal untuk mendapat tenaga murah, tetapi pengaruh kapitalisme dapat juga mendobraknya. Sekalipun industri di Indonesia hanya merupakan industri pembantu, tetapi ini pun sudah melahirkan kelas buruh, yang menurut sewajarnya akan memimpin gerakan pembebasan Rakyat guna menghancurkan imperialisme dan akhirnya juga melenyapkan sama sekali sistem kapitalisme. Dalam tahun 1924 kaum buruh tetap di Indonesia telah mencapai 21.6% daripada penduduk kota-kota besar di Jawa (seperti kota-kota Jakarta, Jatinegara, Bandung, Semarang dan Surabaya). Ini menunjukkan, bahwa kemajuan industri di lima kota besar tersebut sudah mencapai tingkat yang agak tinggi. Di kota-kota kecil di Jawa jumlah kaum buruh 19.8% daripada penduduk kota, sedangkan di distrik-distrik di Jawa terdapat 2.4% daripada penduduk. Menurut statistik tahun 1930, penduduk Indonesia yang hidup dari upah berjumlah lebih kurang 6.000.000 (enam juta). Dalam jumlah ini sudah dimasukkan buruh musiman yang sangat besar jumlahnya. Di antara yang enam juta ini terdapat setengah juta buruh modern atau proletariat, yang terdiri dari: 316.200 buruh transportasi, 153.100 buruh pabrik dan bengkel, 36.400 buruh tambang timah kepunyaan pemerintah dan partikelir, 17.100 buruh tambang batubara kepunyaan pemerintah dan partikelir, 29.000 buruh tambang minyak, 6.000 buruh tambang emas dan perak kepunyaan pemerintah dan partikelir. Selainnya adalah buruh pabrik gula, buruh perkebunan, berbagai golongan pegawai negeri (termasuk polisi dan tentara), buruh industri kecil, buruh lepas, dan sebagainya. Perlu diterangkan bahwa yang terbesar ialah jumlah buruh industri kecil (2.208.900) dan buruh lepas (2.003.200).
Jadi jelaslah, bahwa kapitalis monopoli telah melahirkan kelas proletar, melahirkan kaum intelektual bangsa Indonesia, membangunkan kesadaran nasional dan memperkuat gerakan kemerdekaan. Keadaan ini juga menggugah dan menggerakkan massa kaum tani yang sangat besar itu jumlahnya. Dengan timbulnya kelas proletar berartilah timbulnya kelas baru yang paling maju, paling berdisiplin dan paling konsekuen. Kelas inilah yang akan memberi sifat yang baru kepada perjuangan Rakyat Indonesia, sifat yang berlainan daripada waktu yang sudah.
Makin kuat gerakan revolusioner di negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan, bertambah besarlah artinya bagi proletariat dunia. Gerakan revolusioner ini menggerogoti (ondermijnen) imperialisme secara mendalam dan membikin tanah-tanah koloni dan setengah koloni, yang tadinya sebagai cadangan imperialis, menjadi cadangan revolusi proletar.
Sejak Revolusi Oktober 1917 gerakan kemerdekaan dari bangsa-bangsa jajahan melihat Soviet Uni sebagai guru dan pahlawan kemerdekaan, dan dari Rakyat Soviet mereka melihat bahwa sebenarnya tidak ada bangsa yang rendah derajatnya, dan bahwa bangsa kulit putih dan bangsa kulit berwarna adalah sama, asal saja mereka mendapat kesempatan yang sama untuk maju. Juga gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia mendapat pengaruh dan pelajaran dari Revolusi Rusia tahun 1917.
Demikianlah sedikit keterangan mengenai pertentangan ketiga.
BAB III. GERAKAN BURUH INDONESIA SAMPAI PEMBERONTAKAN TAHUN 1926
ISDV sebagai pendorong perkembangan
serikatburuh. Tahun 1919 berdiri vaksentral PPKB. Pemogokan buruh gula
bulan Agustus 1920. Pada tanggal 23 Mei 1920 berdiri PKI. Tahun 1921
PPKB pecah menjadi dua, tetapi tahun 1922 kaum Komunis berhasil
mempersatukannya kembali dalam PVH. Pemogokan buruh pegadaian bulan
Januari 1922 dan Pemogokan buruh kereta-api bulan Mei 1923. Penyakit
oportunis “Kiri” dalam gerakan buruh Indonesia. Pemberontakan kaum tani
tahun 1926-1927. Likuidasi-isme Tan Malaka. PVH lumpuh.
Pada permulaan abad ke-XX muncullah di Indonesia kelas-kelas baru
yang menyiapkan diri untuk memegang pimpinan perlawanan terhadap
penindasan yang dilakukan oleh imperialisme. Kenyataan menunjukkan,
bahwa kelas buruh Indonesia lebih dulu mengorganisasi diri secara
modern daripada kelas-kelas lain. Baru sesudah kaum buruh mulai
mengorganisasi diri dalam tahun 1905, kaum intelektual bangsawan
mengorganisasi diri dalam tahun 1908 (Budi Utomo) dan kaum dagang dalam
tahun 1911 (Serikat Dagang Islam yang dalam tahun 1912 menjadi organisasi massa yang luas dengan nama Serikat Islam).Dalam gerakan buruh Indonesia yang lebih dulu mengorganisasi diri ialah amtenar-amtenar dan pegawai-pegawai perusahaan pemerintah. Ini tidak mengherankan, karena dari kalangan inilah terdapat angkatan baru yang telah terpisah dari ikatan tradisi desa atau distrik, dan mereka mencontoh orang Barat dalam mengorganisasi diri untuk menciptakan syarat-syarat hidup dan syarat-syarat kerja yang lebih baik.
Dalam tahun 1905 berdirilah serikat buruh yang pertama dengan nama SS-Bond. SS-Bond didirikan hanya untuk pegawai SS, dan keanggotaannya tidak mengenal perbedaan bangsa. Ketiadaan pemimpin dari bangsa Indonesia ketika itu, menyebabkan pimpinan dipegang oleh pegawai-pegawai SS bangsa Belanda. SS-Bond bukan organisasi buruh yang militan, dengan demikian tidak mungkin ia memenuhi keinginan kaum buruh.
Dengan berdirinya Vereniging van Spoor- en Trampersoneel (VSTP) di Semarang tahun 1908, maka banyaklah anggota-anggota SS-Bond yang pindah ke VSTP, dan ini akhirnya menyebabkan SS-Bond mesti gulung tikar. SS tidak mau mengakui pengurus VSTP sebagai wakil buruh. Untuk berhadapan dengan SS dalam tahun 1912 dibentuk apa yang dinamakan “grup perwakilan”, akan tetapi karena hasil perundingan dengan SS senantiasa tidak memuaskan, hilanglah kepercayaan kaum buruh akan manfaat “grup perwakilan” semacam itu, dan menimbulkan keyakinan pada kaum buruh bahwa tiap-tiap perundingan mesti disertai kekuatan yang dapat memaksa majikan mengabulkan tuntutan kaum buruh.
Dengan datangnya seorang Belanda totok H.J.F.M. Sneevliet (1883-1942, ia mati ditembak nazi-Jerman di negeri Belanda) di Semarang tahun 1913, dan ia datang sebagai sekretaris suatu perkumpulan dagang. VSTP mendapat bantuan yang sangat besar artinya, karena Sneevliet adalah seorang propagandis yang bisa dipercaya oleh gerakan revolusioner dan seorang yang mengerti soal-soal serikatburuh. Walaupun kemudian ternyata, bahwa Sneevliet menyeleweng dari Marxisme, ia dihinggapi oleh penyakit “Kiri”,dan ini memang sangat berpengaruh pada gerakan revolusioner Indonesia dan terutama pada PKI, tetapi ia adalah seorang yang memulai menanamkan kesadaran sosialis pada pemimpin-pemimpin Rakyat Indonesia. Pengaruh Sneevliet besar atas VSTP, dan dalam perkembangan selanjutnya Sneevliet adalah seorang pemimpin VSTP yang penting.
Dengan teman-teman sepahamnya bangsa Belanda, antara lain J.A. Brandsteder, P. Bergsma dan H.W. Dekker, dalam bulan Mei 1914 di Semarang didirikannya ISDV (de Indische Sociaal Democratisehe Vereniging) yang bertujuan menyebabkan Marxisme di kalangan kaum buruh dan Rakyat Indonesia. Dalam ISDV terhimpun tenaga-tenaga intelektual bangsa Indonesia dan Belanda, dan ISDV adalah tempat di mana bangsa Indonesia mulai belajar Marxisme. Anggota ISDV tidak banyak, akan tetapi giat dan cerdas, dan dengan anggotanya yang tidak banyak itu ISDV dapat merasuk ke tengah-tengah Rakyat Indonesia dan dengan demikian dapat mempengaruhi organisasi lain. ISDV berpengaruh atas SI (Serikat Islam), dan dengan sendirinya atas serikat buruh-serikat buruh yang dipimpin oleh orang-orang SI. ISDV berusaha keras untuk mendirikan dan mempersatukan serikat buruh-serikat buruh. ISDV melahirkan pemimpin-pemimpin revolusioner bangsa Indonesia, dan sayap kiri dari ISDV inilah yang kemudian memelopori berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam tahun 1920. Tulisan Sneevliet dalam harian Semarang “De Indier” tanggal 19 Maret 1917, dengan nama “Zegepraal” (“Kemenangan”), yang memuji Revolusi Rusia bulan Februari 1917 dan yang menganjurkan kepada Rakyat Indonesia supaya mengambilnya sebagai teladan, telah menyebabkan Sneevliet dituntut dan ini dijadikan alasan oleh perkumpulan dagang dimana ia bekerja untuk mengeluarkan Sneevliet dari pekerjaannya. Tetapi justru ini yang lebih mendekatkan Sneevliet kepada Rakyat Indonesia, karena kemudian ia sepenuhnya mengabdikan diri pada VSTP sebagai sekretaris dan propagandis, dan dia pun hidup dari VSTP.
Sesudah ISDV didirikan, di mana-mana timbul serikat buruh sebagai jamur di musim hujan. Dalam tahun 1916 pegawai bangsa Indonesia dari Jawatan Pegadaian Negeri mengorganisasi diri dalam serikat buruh pegadaian dengan nama PPPB (Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera). Kejadian ini ialah tiga tahun sesudah pegawai-pegawai bangsa Belanda membentuk perkumpulannya sendiri.
Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya PPPB, didirikan serikat buruh BOW (Burgelijke Openbare Werken, Pekerjaan Umum) dengan nama VIPBOW (Vereniging Inheemse Personeel BOW); juga didirikan serikat buruh guru bangsa Indonesia seperti PGHB (Perserikatan Guru Hindia Be1anda), PGB (Perhimpunan Guru Bantu) dan PGAS (Perserikatan Guru Ambachtsschool); buruh jawatan candu berserikat dalam de “Opiumregiebond van Nederlands-Indie” (1915) dan de “Opiumregiebond Luar Djawa-Madura” (1917); buruh douane berserikat dalam Perhimpunan Bumiputera Pabean dan banyak lagi serikat buruh yang kecil-kecil. Sebagian besar dari serikat buruh-serikat buruh ini diakui sebagai “rechtpersoon”.
Pada umumnya yang menjadi anggota-anggota serikat buruh-serikat buruh yang disebutkan di atas ialah buruh-buruh rendahan, karena pada waktu itu boleh dikata sangat jarang orang Indonesia menduduki tempat yang penting dalam jawatan. Dan jika ada yang menduduki tempat yang penting, maka ia pun memisahkan diri dari masyarakat bangsanya sendiri dan dalam pergaulannya menggolongkan diri pada orang-orang Barat.
Adanya kehidupan berserikat secara modern dalam masyarakat Indonesia, seperti yang tumbuh di kalangan pegawai-pegawai negeri, menggugah golongan-golongan buruh partikelir untuk juga mengorganisasi diri dalam serikat buruh. Demikianlah dalam tahun 1919 di Jogja didirikanPFB (Personeel Fabrieks Bond) yang mula-mula hanya bertujuan memberi bantuan kepada keluarga buruh pabrik gula di Jogja. Tetapi kemudian PFB meluas ke seluruh Jawa dan tujuannya juga diperluas, tidak lagi hanya terbatas memberi bantuan pada keluarga. Pemimpin PFB yang terkemuka yaitu Raden Mas Surjopranoto, terkenal dengan julukan “stakingskoning” (“raja-pemogok”), karena di bawah pimpinan PFB, dalam tahun 1920 telah terjadi pemogokan besar yang diikuti oleh ratusan ribu kaum buruh gula.
Sejak tahun 1916 ISDV sudah mengusahakan berdirinya vaksentral (gabungan serikat buruh-serikat buruh). ISDV berpendapat, bahwa perlawanan terhadap kaum kapitalis akan lebih mudah diatur dan akan lebih hebat pukulannya jikalau kaum buruh Indonesia sudah tergabung dalam vaksentral. Oleh Semaun, seorang murid Sneevliet yang militan ketika itu, setelah usahanya gagal untuk membentuk vaksentral dengan melalui VSTP, pada pertengahan tahun 1918 sekali lagi diusahakannya dengan mengundang pengurus-pengurus serikatburuh ke Semarang. Masalah yang hangat ketika itu antara lain ialah soal “duurtetoeslag”. Tetapi juga usaha tahun 1918 ini tidak mencapai hasil, karena yang mengirimkan wakil cuma VSTP (di mana Semaun sendiri yang menjadi pemimpinnya) dan PPPB. Serikat buruh lain kelihatannya belum berani mengikuti jejak orang-orang ISDV yang sudah terang bertentangan dengan pemerintah kolonial.
Kemenangan Revolusi Oktober Rusia tahun 1917 menimbulkan keyakinan dan kegembiraan yang lebih besar di kalangan ISDV dalam mengadakan agitasi dan propaganda tentang revolusi dan sosialisme. Dengan dibantu oleh Brandsteder, yaitu sekretaris daripada organisasi pegawai marine dan redaktur suratkabar serdadu dan matros, Sneevliet juga mengadakan propaganda di kalangan serdadu dan matros. Dengan demikian semangat perlawanan juga timbul di kalangan angkatan bersenjata. Atas anjuran Sneevliet di Surabaya dibentuk semacam Soviet, yaitu “Dewan Matros dan Marine”, dan kepada serdadu-serdadu dianjurkan untuk juga membentuk dewan semacam itu. Kegiatan-kegiatan ini dianggap berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda. Karena itulah Sneevliet diusir dari Indonesia berdasarkan putusan Pemerintah 5 Desember 1918. Kemudian juga kawan-kawannya diusir, antara lain Brandsteder, Bergsma, Baars, dan lain-lain. Tetapi pengusiran-pengusiran ini tidak banyak artinya, karena dari kalangan bangsa Indonesia sudah timbul pemimpin-pemimpin yang revolusioner.
Usaha-usaha sesudah tahun 1918 menunjukkan hasil-hasil yang baik dalam usaha membentuk vaksentral. Dalam kongres PPPB di Bandung dalam bulan Mei 1919 pemimpin SI RadenSosrokardono, yang juga menjadi pemimpin PPPB, menganjurkan supaya semua serikat buruh digabungkan secara federatif dalam satu badan sentral, jadi menganjurkan adanya vaksentral. Dalam kongres ini ada persesuaian pendapat antara Semaun dan Sosrokardono, yaitu tentang perlunya ada vaksentral dan tentang tujuan gerakan buruh untuk mencapai pemerintah sendiri, dan mengubah masyarakat kapitalis menjadi masyarakat sosialis.
Tentang anjuran-anjuran dalam kongres PPPB di Bandung, juga dijelaskan oleh Surjopranoto dalam kongres SI keempat di Surabaya, tetapi dengan interpretasinya sendiri. Surjopranoto antara lain menerangkan, bahwa kemenangan perjuangan kelas dalam membikin alat produksi menjadi milik umum tidak harus dicapai dengan aksi-aksi bersenjata, tetapi dengan paksaan batin, dengan perundingan di muka ramai dan jika perlu dengan pemogokan. Selanjutnya diterangkannya, bahwa serikat buruh akan menjadi Eerste Kamer dari perwakilan Rakyat, di mana duduk wakil-wakil serikat buruh dan serikat tani; sedangkan Tweede Kamer merupakan perwakilan partai-partai politik. Kedua kamer inilah yang akan merupakan “Dewan Rakyat sesungguhnya”, dan dengan ini dapat beraksi menentang modal dan penjajahan asing.
Walaupun ada perbedaan-perbedaan pendapat, tetapi ISDV maupun SI pada waktu itu sependirian tentang perlunya ada satu vaksentral. SI mengusulkan nama PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh) sedangkan kaum sosialis kiri dari ISDV menginginkan nama Revolutionare Socialistische Vakcentrale. Tentang nama ini kaum sosialis kiri akhirnya mengalah dan menerima nama PPKB. Akhir Desember 1919, jadi tidak lama sesudah akhir perang dunia I, dalam pertemuan wakil-wakil serikat buruh di Yogyakarta, berdirilah vaksentral PPKB, di mana di dalamnya tergabung serikat buruh-serikat buruh yang di bawah pengaruh ISDV dan SI. Dalam pertemuan ini juga dibentuk komisi yang diwajibkan menyusun Peraturan Dasar vaksentral, yang antara lain terdiri dari pemuka-pemuka kaum buruh seperti Surjopranoto, Sosrokardono, Alimin dan Reksodiputro. Komisi ini mengadakan rapat-rapatnya di kota Bandung, kota dingin.
Keadaan sesudah perang sangat menguntungkan kapitalis besar asing karena sangat banyak permintaan luar negeri akan barang-barang ekspor Indonesia. Sebagai contoh, perseroan dagang bangsa Belanda, Handelsvereniging Amsterdam (HVA) telah dapat mengeluarkan 50% dividen untuk tahun 1919, dan 60% untuk tahun 1920. Harga gula meningkat luar biasa, dari f. 5.25 per-pikul dalam bulan Juli 1918 menjadi f. 66.-- dalam bulan Mei 1920; kopi Robusta dari f. 16.12 per-pikul dalam bulan Juli 1918 menjadi f. 76.25 dalam bulan November 1919. Tetapi sebaliknya bagi Rakyat, tahun-tahun pertama sesudah perang berarti musim kelaparan. Kemiskinan berjangkit, kesukaran memuncak, sedang ketidak-senangan Rakyat terus bertambah, terutama tidak senang pada bangsa Eropa. Upah riil kaum buruh sangat turun karena naiknya harga barang-barang impor, termasuk barang-barang keperluan sehari-hari, sedangkan upah tidak ikut naik atau naiknya tidak sepadan dengan naiknya harga barang.
Dalam tahun sesudah perang terjadilah beberapa pemogokan dan percobaan pemogokan, sebagian di luar percampuran PPKB.
Keadaan upah yang sangat buruk menyebabkan pengurus PFB merencanakan aksi buruh gula. Dalam bulan Maret 1920 pengurus PFB menyampaikan surat edaran kepada direksi dan administrasi onderneming-onderneming dan kepada sindikat-sindikat gula, di mana diajukan permintaan supaya PFB diakui sebagai wakil buruh, dan bersamaan dengan itu juga dituntut perbaikan upah bagi buruh yang nasibnya sangat celaka. Di mana-mana terjadi pemogokan besar-besaran, yang diikuti oleh ratusan ribu buruh gula, di Jawa Timur dan Jawa Tengah, umumnya di perusahaan gula HVA. Pemogokan yang hebat ini telah memaksa sindikat-sindikat gula mengadakan kontak dengan pihak buruh untuk berunding. Semaun dari vaksentral PPKB memerintahkan supaya pemogokan dihentikan. Akan tetapi Surjopranoto tidak mau menaati perintah PPKB dan terus mengadakan agitasi-agitasi untuk melanjutkan aksi. Malah pada 9 Agustus 1920 dikeluarkan ultimatum untuk mengadakan mogok umum. Oleh pemerintah Hindia Belanda agitasi Surjopranoto ini dianggap membahayakan apa yang dinamakannya “ketertiban umum.” Larangan mengadakan aksi dikeluarkan, karena menurut pemerintah aksi ini “bukan untuk perbaikan nasib kaum buruh, tetapi sebetulnya aksi politik untuk mengadakan perusuhan”. Tetapi yang lucu, yang membuktikan bahwa aksi-aksi kaum buruh adalah aksi perbaikan nasib, ialah bahwa bersamaan dengan larangan mengadakan aksi pemerintah juga “mengingatkan majikan untuk sebaiknya menambah upah buruh”. Pemerintah meletakkan tanggung jawab pada pengurus PFB jika kejadian pemogokan umum, Akhirnya, Surjopranoto kena delik dalam bicara dan dihukum dua bulan, tetapi ini sudah cukup lama untuk membikin PFB menjadi lumpuh sejak bulan Agustus 1920.
Meletusnya Revolusi Sosialis Oktober tahun 1917 di Rusia dan menangnya revolusi ini, memberi inspirasi, kesadaran dan pandangan baru pada Rakyat Indonesia, terutama pada kaum buruh dan pada kaum intelektual Indonesia yang paling maju. Revolusi Sosialis Oktober sangat memengaruhi ISDV. Revolusi Oktober tidak hanya merupakan suluh dan harapan bagi Rakyat Indonesia, tetapi ia juga memberi pelajaran pada Rakyat dan kelas buruh Indonesia tentang lahirnya suatu Partai tipe baru, yaitu bentuk tertinggi daripada organisasi kelas dari proletariat yang bersenjatakan Marxisme-Leninisme, yang mempunyai anggota dari kelas pekerja yang paling sedar, yang mempunyai disiplin baja yang sangat kuat, yang memakai metode self-kritik dan yang berhubungan erat dengan massa. Partai ini adalah partainya Lenin, Partai Komunis. Dalam rapat tahunan ISDV yang ke-7, yang diadakan di gedung SI Semarang pada tanggal 23 Mei 1920, atas usul cabang Semarang., ISDV dilebur menjadi PKI. Usul ini diterima boleh dikata dengan suara bulat (33 setuju, 1 blangko dan 2 tidak setuju). Anggota Pengurus Besar harian yang pertama terdiri dari: Semaun, ketua; Darsono, wakil-ketua; Bergsma, sekretaris; Dekker, bendahara; dan Baars. Anggota Pengurus Besar di luar Semarang ialah J. C. Stam di Tuban, Dengah dan C. Kraan di Surabaya dan Sugono di Bandung. Untuk redaktur majalah Partai “Het Vrije Woord” (dalam bahasa Belanda) ditetapkan Baars dan Bergsma, sedangkan untuk “Suara Rakyat” ditetapkan Darsono dan Dengah. Dalam bulan Desember tahun 1920 itu juga PKI menggabungkan diri pada Komintern (Komunis Internasional).
Berdirinya PKI pada tanggal 23 Mei 1920 adalah sangat penting bagi kelas buruh Indonesia, karena sejak itulah kelas buruh Indonesia mempunyai Partainya sendiri. Untuk gerakan kemerdekaan nasional, berdirinya PKI juga mempunyai arti yang sangat besar, karena dalam perjuangan selanjutnya dibuktikan, bahwa PKI tidak hanya memimpin dan memperjuangkan kepentingan kelas buruh, tetapi juga memimpin dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan kelas-kelas lain, sehingga PKI merupakan Partai yang berdiri di depan dalam perjuangan nasional untuk menghapuskan imperialisme dan feodalisme di Indonesia.
Kongres PPKB yang pertama diadakan di Semarang pada tanggal 1 Agustus 1920. Kongres ini dihadiri oleh 22 serikat buruh, dengan anggota seluruhnya 72.000. Dalam kongres ini mulai kelihatan pertentangan antara aliran revolusioner yang diwakili oleh kaum Komunis dan aliran reformis yang diwakili oleh beberapa pemimpin SI. Semaun dan kawan-kawannya menyesali Surjopranoto yang dalam aksi melawan pabrik gula telah mengecilkan rol daripada vaksentral, dan tidak menghubungkan aksi-aksi buruh gula dengan soal-soal politik menghantam penjajahan. Surjopranoto menyatakan keberatannya jika vaksentral mencampuri soal-soal dalam PFB. Dalam kongres ini juga menjadi perbincangan hangat tentang tempat kedudukan vaksentral. Kaum Komunis menghendaki supaya berkedudukan di Semarang, sedang orang-orang SI menghendaki di Jogja, yaitu kota pusat SI. Diputuskan untuk sementara tempat kedudukan PPKB di Jogja, di mana bertempat tinggal 4 dari 7 pengurus besar PPKB. Susunan pengurus PPKB sesudah kongres ialah Semaun sebagai Ketua, R.M. Surjopranoto sebagai Wakil Ketua dan Hadji Agus Salim sebagai Sekretaris.
Kaum Komunis mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam PPKB. Dalam hal ini besar sekali rol dari VSTP yang militan itu. Sejak mulai berdirinya, PPKB sudah dihadapkan dengan pekerjaan yang banyak, karena di mana-mana timbul pemogokan-pemogokan.
Dalam bulan Agustus 1920 itu juga pada maskapai SCS (Semarang-Cheribon-Stoomtram Maatschappij) timbul konflik antara buruh dengan maskapai. Segera VSTP menyampaikan ultimatum pada direksi maskapai. Direksi menyanggupi memberikan syarat-syarat kerja yang sama seperti yang berlaku bagi pegawai SS, tetapi maskapai menolak tuntutan-tuntutan VSTP yang lain. VSTP menganggap putusan direksi ini tidak cukup, dan menuntut kenaikan upah serta 8 jam kerja sehari. Suasana menjadi hangat, dan dalam keadaan demikian timbul provokasi, yaitu pecahnya pemogokan di seluruh jalan kereta api Semarang-Cirebon dengan tidak setahu VSTP. Tetapi pengaruh VSTP atas kaum buruh sangat besar, dan dengan tindakan yang diambil VSTP pemogokan bisa dihentikan dengan segera.
Juga di Sumatera Timur pada permulaan September 1920 timbul pemogokan di kalangan kaum buruh kereta api DSM (Deli Spoor Maatschappij), yang juga menuntut kenaikan upah. Aksi mogok ini juga menjalar sampai kepada buruh BPM (Bataafse petroleum Maatschappij) di Pangkalan Brandan. Dengan dipenuhinya tuntutan buruh, segera pemogokan berhenti.
Dalam bulan November 1920 terjadilah sejumlah konflik perburuhan di Surabaya. Atas usaha pemimpin-pemimpin dari PFB dapat diorganisasi buruh penjahit, buruh pelabuhan dan buruh perusahaan teknik, dan serikat-buruh-serikat buruh ini digabungkan ke dalam vaksentral setempat. Tuntutan kenaikan upah ditolak oleh majikan, menyebabkan pecahnya pemogokan-pemogokan di berbagai perusahaan. Pemogokan-pemogokan ini ada juga mengakibatkan penutupan perusahaan-perusahaan (lockouts), sampai tuntutan kaum buruh dikabulkan, dan ada yang memakan waktu sampai dua bulan. Baru pada akhir Desember 1920 kaum buruh perdagangan dan industri di Surabaya bekerja kembali, dan keadaan ini membikin ramai kembali kehidupan perusahaan yang tadinya dibikin sunyi oleh pemogokan.
Pemogokan-pemogokan dalam tahun 1920 umumnya berakhir dengan kemenangan kaum buruh. Kemenangan-kemenangan ini memberikan semangat dan kegembiraan berjuang pada kaum buruh, mendidik kaum buruh akan pentingnya organisasi dan disiplin, dan membukakan pada kaum buruh dan Rakyat umumnya kebobrokan daripada peraturan perburuhan kolonial dan pemerintah kolonial. Karena aksi-aksi kaum buruh pemerintah terpaksa membicarakan soal upah minimum bagi kaum buruh. Untuk ini oleh pemerintah dibentuk satu Komisi Perburuhan. Tetapi setelah Komisi ini memberikan laporannya pada akhir Juni 1920, pemerintah kemudian menyatakan pendapatnya, bahwa laporan itu “lebih bersifat menyatakan keinginan-keinginan teoritis dari Komisi daripada menyatakan apa yang mungkin dalam praktek”. Menurut pemerintah, peraturan upah minimum yang diusulkan oleh Komisi adalah “secara teori tidak bisa dipertahankan dan dalam praktek tidak bisa dilaksanakan”. Dengan perkataan lain, pemerintah tidak bertindak apa-apa untuk perbaikan nasib buruh.
Kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh gerakan buruh membikin khawatir pihak pemerintah. Yang lebih mengkhawatirkan lagi ialah, bahwa pengaruh kaum Komunis dalam serikat buruh-serikat buruh makin lama makin besar. Dengan melalui orang-orangnya pemerintah Hindia Belanda berusaha memecah belah gerakan buruh, dan mempengaruhi aliran-aliran tertentu dalam SI. Dengan segala jalan pemerintah Hindia Belanda mempertajam pertentangan antara kaum Komunis (PKI) dengan golongan Islam (SI) untuk memecah PPKB. Aliran reformis dalam PPKB dengan sendirinya mendapat sokongan dan dorongan dari pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian pertentangan antara aliran revolusioner dengan aliran reformis makin lama makin tajam dalam PPKB.
Atas usul VIPBOW dengan maksud untuk -meredakan pertentangan-pertentangan yang ada dalam PPKB, pada tanggal 18-20 Juni 1921, di Jogja diadakan rapat umum yang dihadiri oleh semua anggota-anggota PPKB. Tetapi dalam rapat ini, pertentangan bukan makin reda, tetapi malahan menjadi lebih tajam dan lebih terang. Di satu pihak kaum Komunis belum mampu menjalankan taktik yang tepat untuk menggalang front persatuan buruh yang luas, dan di pihak lain orang-orang seperti Haji Agus Salim cs. dan pembesar-pembesar PID (jawatan penyelidik politik Hindia Belanda) dengan segala jalan menggunakan tiap-tiap kesempatan untuk menimbulkan kekacauan dan perpecahan. Dalam rapat ini PPKB pecah menjadi dua, di satu pihak “golongan Semarang” yang dipimpin oleh kaum revolusioner, dan di pihak lain “golongan Jogja” yang dipimpin oleh kaum reformis Hadji Agus Salim cs.
Di bawah pimpinan kaum Komunis didirikan vaksentral baru dengan nama Revolutionaire Vakcentrale, yang berkedudukan di Semarang. Dalam RV ini tergabung 14 serikat buruh, di antaranya VSTP, serikat buruh pelabuhan, tambang, supir, percetakan, penjahit, dan sebagainya, dengan VSTP sebagai tulang punggungnya. RV dipimpin antara lain oleh Semaun, P. Bergsma, Najoan, dan lain-lain.
Surjopranoto bersama Haji Agus Salim meneruskan aktivitasnya dengan nama PPKB di Jogja, dengan PPPB sebagai tulang punggungnya.
Kaum Komunis berhasil menarik serikat buruh-serikat buruh yang penting, seperti VSTP, serikat buruh pelabuhan, tambang, dan sebagainya ke dalam RV, tetapi dua serikat buruh yang besar dan penting, yaitu serikat buruh gula (PFB) dan PPPB, tidak dapat ditariknya kedua serikat buruh ini berada dalam pimpinan kaum reformis. Demikian juga serikat buruh guru berada dalam pimpinan kaum reformis. Keadaan ini mempunyai pengaruh pada gerakan, buruh selanjutnya.
Dalam bulan Agustus 1921 terjadi pemogokan buruh pelabuhan di Surabaya, ialah sebagai perlawanan terhadap majikan yang mau menurunkan upah buruh. Kejadian ini segera dicampuri oleh RV dengan mengirimkan Semaun ke Surabaya.
Pada tanggal 11 Januari 1922 terjadi pemogokan buruh pegadaian di bawah pimpinan PPPB (anggota PPKB), mula-mula di Jogja tetapi dua minggu kemudian menjalar ke beberapa daerah di Jawa. Berbeda dengan pemogokan-pemogokan lain yang sudah diterangkan di atas, pemogokan ini bukan karena soal upah, tetapi disebabkan oleh sikap pegawai atasan bangsa peranakan Belanda yang bertindak sewenang-wenang terhadap pegawai Indonesia. Dengan perkataan-perkataan yang tidak menyenangkan, pegawai-pegawai atasan yang umumnya terdiri dari bangsa Belanda menyuruh pegawai-pegawai bangsa Indonesia mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang dianggap hina, misalnya disuruh mengangkat barang-barang yang akan dilelang ke dalam los. Pegawai menuntut supaya ada pesuruh yang khusus untuk mengangkat barang-barang itu, dan menuntut supaya di kalangan pegawai, juga oleh pegawai atasan, dipergunakan bahasa Jawa Dipo yang demokratis. Tuntutan-tuntutan ini tidak mendapat perhatian, dan inilah yang menyebabkan pemogokan besar-besaran. 79 dari 360 rumah gadai ambil bagian dalam pemogokan ini. Untuk menindas pemogokan ini, pemerintah Hindia Belanda menggunakan ketentuan hukuman jabatan, artinya kepala-kepala pegadaian begitu saja bisa memberhentikan pegawai yang dianggap “menolak pekerjaan” atau “mengadakan tentangan”. Dengan demikian kaum pemogok, sejumlah kira-kira 1.000 orang, yaitu 20% daripada seluruh pegawai jawatan pegadaian, dipecat dari pekerjaannya.
Aksi kaum buruh pegadaian yang hebat ini mengalami kegagalan, karena pemimpin PPPB yang reformis tidak memberikan tuntunan yang tegas. Pemimpin-pemimpin terlalu banyak berusaha ke atas, misalnya beraudiensi kepada pembesar-pembesar negeri, dan kurang mengorganisasi serta membangunkan semangat kaum pemogok. Kesalahan yang besar lagi ialah, bahwa kaum pemogok tidak dikumpulkan secara teratur untuk diberi penjelasan tentang jalannya dan hasilnya perundingan serta bagaimana sikap pemogok selanjutnya. Ketika kaum pemogok dipecat dari pekerjaannya, samasekali tidak ada petunjuk dari pimpinan apa yang harus mereka lakukan selanjutnya; dengan putusan sendiri-sendiri ada yang pergi ke desa untuk bertani, ada yang berdagang, ada yang mencari pekerjaan lain, dan sebagian mengabdikan diri sepenuhnya pada organisasi revolusioner. Keadaan yang tidak teratur ini, oleh reaksi dan kaum reformis kemudian dipergunakan untuk menakuti kaum buruh, terutama buruh pegadaian, agar tidak berani mengadakan aksi.
Hal yang sangat baik ialah, bahwa dalam menghadapi pemogokan buruh pegadaian yang ditindas oleh pemerintah Hindia Belanda, baik pihak RV maupun pihak PPKB, kedua-duanya mengeluarkan pernyataan tentang betapa pentingnya pemogokan ini dan menyerukan supaya seluruh kaum buruh Indonesia menyokong pemogokan, dan dinyatakan juga supaya kaum buruh bersiap-siap agar sewaktu-waktu diperlukan bisa mengadakan pemogokan umum. Di berbagai tempat di organisasi rapat-rapat penerangan dimana juga dijelaskan kebobrokan pemerintah kolonial. Pemerintah menganggap ini sudah “keterlaluan” dan berpendapat bahwa hak berapat sudah digunakan tidak sebagaimana mestinya. Aktivitas kaum buruh dianggap mengganggu “ketertiban umum” dan atas dasar inilah di daerah Yogyakarta hak berapat dipersempit. Di samping itu, beberapa pemimpin buruh, antara lain P. Bergsma, dipisahkan dari gerakan buruh Indonesia dengan jalan mengeluarkannya dari Indonesia.
Semaun tidak ikut serta dalam memimpin pemogokan pegadaian, karena dalam bulan Oktober 1921 dia pergi ke luar negeri untuk menghadiri kongres kaum buruh Timur Jauh di Moskow, di mana dibicarakan juga tentang organisasi-organisasi buruh di negeri-negeri jajahan, dan setengah jajahan. Dia baru datang pada akhir Mei 1922.
Sepulangnya Semaun dari luar negeri, PKI bertambah giat lagi berusaha mempersatukan kaum buruh Indonesia, dan dalam pekerjaannya PKI lebih berhati-hati. Di kalangan PKI mulai dibicarakan tentang pentingnya memperhatikan sifat-sifat khusus daripada revolusi Indonesia, bahwa tiap-tiap negeri mempunyai jalan-jalannya sendiri dalam menuju ke Komunisme, dihubungkan dengan perkembangan ekonomi, politik, kebudayaan dan tradisi Rakyat tiap-tiap negeri. Tetapi ternyata kemudian, bahwa soal memperhatikan sifat-sifat khusus revolusi Indonesia masih belum konsekuen diperhatikan, dan kesalahan-kesalahan yang bersifat “kiri” masih terus dibikin (antara lain putusan Kongres PKI tahun 1924 di Jogja, dan laporan Semaun pada pleno Komintern tahun 1925).
Atas inisiatif anggota-anggota PKI, pada tanggal 25 Juni 1922 di Surabaya diadakan rapat bersama dari serikat buruh-serikat buruh, di mana dalam rapat itu dinyatakan perlunya diadakan fusi antara Revolutionaire Vakcentrale dengan PPKB. Usaha ini berhasil, dengan tercapainya fusi dalam rapat yang sengaja diadakan untuk itu di Madiun pada tanggal 3 September 1922. Demikianlah perpecahan dalam gerakan buruh bulan Juni 1921, sebagai hasil pekerjaan memecah belah dari elemen-elemen reaksioner, dapat kembali dipersatukan atas usaha kaum Komunis dalam satu vaksentral yang diberi nama PVH (Persatuan Vakbond Hindia). Dalam PVH tergabung VSTP, PPPB, PFB, Kweekschoolbond, PGB (Perhimpunan Guru Bantu), dan lain-lain, serikat buruh, pemerintah maupun partikelir, dan seluruhnya meliputi 20.000 anggota.
Sasaran yang pertama dari PVH ialah maklumat pemerintah tentang akan dicabutnya tambahan upah karena kemahalan, yang telah berjalan beberapa tahun. Alasan pemerintah ialah untuk menghemat belanja pemerintah. Seluruh kaum buruh bersatu dalam menghadapi tindakan pemerintah ini.
Keadaan upah kaum buruh dalam tahun krisis 1922 adalah sangat buruk. Ini menyebabkan timbulnya desakan yang sangat keras dari kaum buruh untuk mengadakan pemogokan, dan dalam berbagai kongres soal mogok menjadi pembicaraan yang hangat. Dalam menghadapi desakan kaum buruh semacam ini, pemimpin-pemimpin reformis menunjukkan tidak setianya kepada kepentingan kaum buruh dan mencari jalan untuk selamat sendiri. Dengan demikian kaum buruh mengenal siapa pemimpinnya yang sejati dan siapa yang bukan.
Dalam Kongres PPPB, bulan Agustus 1922 di Ambarawa, soal mogok juga menjadi pembicaraan yang hangat. Dalam kongres ini ditekankan oleh pemimpin-pemimpin reformis dari SI yang duduk dalam PPPB supaya jangan sampai diadakan pemogokan, karena pemogokan hanya akan membikin lebih celaka nasib kaum buruh. “Lihatlah pengalaman pemogokan yang kalah bulan Agustus 1921”, demikian kata pemimpin-pemimpin reformis. Kongres PPPB kali ini sangat tidak memuaskan para pengunjung kongres, karena dalam keadaan di mana nasib kaum buruh berada dalam ancaman, pemimpin tidak memberikan jalan dan pembelaan. Mereka hanya memberikan jalan sebagai yang diinginkan oleh majikan, yaitu supaya tidak mogok.
Sebaliknya dalam lingkungan VSTP kaum Komunis mendapat pengaruh yang lebih besar. Tentang maksud pemerintah untuk mencabut tambahan upah karena kemahalan dan tentang maklumat pemerintah mengenai penghematan menjadi pembicaraan yang hangat dalam rapat-rapat kaum buruh kereta api.
Juga dalam kongres PVH di Semarang pada akhir Desember 1922, dan dalam rapat pimpinan serikat buruh-serikat buruh di Surabaya pada akhir tahun itu juga, soal pemogokan menjadi pembicaraan hangat.
Bulan Januari 1923 VSTP mengeluarkan surat sebaran yang berisi pernyataan akan mengadakan pemogokan jika peraturan pemerintah tentang penghematan dijalankan. Ini masuk akal, karena jika terjadi penghematan maka akan terjadi Massa-ontslag. Surat sebaran ini dibagikan dan ditempelkan di stasiun serta dibaca oleh kaum buruh dengan penuh perhatian. Dalam rapat umum VSTP bulan Februari 1923 soal pemogokan dibicarakan, dan dalam rapat ini diingatkan kepada direksi-direksi maskapai spoor dan tram supaya “tidak bermain dengan api”.
Dalam kongres VSTP tanggal 3-4 Maret 1923 diputuskan bahwa VSTP menggabungkan diri pada Gabungan Serikatburuh Internasionale (Profintern). Ini adalah langkah untuk menghubungkan aksi-aksi kaum buruh Indonesia dengan kaum buruh sedunia, untuk menanamkan solidaritas internasional pada kaum buruh Indonesia, bahwa perjuangan kaum buruh Indonesia adalah sebagian daripada perjuangan kaum buruh sedunia. Dalam kongres VSTP ini Semaun mendapat kekuasaan untuk mengadakan perundingan-perundingan dulu dengan pembesar-pembesar kereta api sebelum mengadakan pemogokan. Di sini kelihatan tindakan yang hati-hati dari pihak VSTP, tidak gegabah dalam mengadakan aksi-aksi. Tetapi pemimpin VSTP tidak menekan kaum buruh supaya jangan mengadakan pemogokan, seperti yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin reformis.
Tanggal 12 April 1923 diadakan rapat antara kepala-kepala dinas kereta api dengan pengurus besar VSTP, dan dalam pertemuan ini pimpinan VSTP mengajukan tuntutan pokok sebagai berikut :
- tetap mempertahankan “duurtebijslag” (tambahan kenaikan upah);
- dijalankannya 8 jam kerja sehari;
- supaya diadakan badan arbitrase jika ada perselisihan antara majikan dan buruh.
Di antara usul-usul VSTP tidak ada yang diterima. Mengenai 8 jam kerja dijanjikan akan diadakan enquette tentang waktu kerja dan waktu istirahat, dan tentang badan arbitrase kepala inspektur SS tidak mempunyai keberatan prinsipiil, tetapi dianggapnya bahwa badan demikian tidak perlu untuk pegawai negeri.
Setelah nyata bahwa perundingan tidak membawa hasil. Semaun menerangkan bahwa selanjutnya kaum buruhlah yang akan berbicara dan dia tidak tanggung akan akibatnya.
Berhubung dengan kegagalan perundingan VSTPSS, di mana-mana diadakan rapat-rapat penerangan oleh VSTP. Kegiatan-kegiatan dalam mengadakan penerangan, di mana kolonialisme mendapat serangan-serangan yang sengit, menyebabkan pemerintah Hindia Belanda mengadakan peringatan pada Semaun supaya perkataan dan perbuatannya jangan “terlalu galak”. Peringatan pemerintah ini dijawab dengan kontan, bahwa kaum buruh tidak bisa menjamin keinginan pemerintah.
Tanggal 29-30 April 1923 di Surabaya diadakan rapat vaksentral PVH. Dalam rapat ini diputuskan, bahwa pemogokan umum dari kaum buruh spoor dan tram akan dilangsungkan jika salah seorang pemimpin buruh ditangkap oleh pemerintah. Dalam rapat VSTP di Semarang, tanggal 6 Mei, sekali lagi diterangkan oleh Semaun, bahwa pemogokan harus diadakan jika terjadi penangkapan atas salah seorang pemimpin buruh.
Pemerintah Hindia Belanda memprovokasi pemogokan dengan menangkap Semaun pada tanggal 8 Mei 1923 dengan alasan persdelik. Segera buruh kereta api mengadakan rapat, di mana diproklamasikan pemogokan yang dimulai pada hari itu juga, mula-mula di Semarang, kemudian meluas ke Madiun dan Surabaya. Pemogokan ini kemudian bersifat umum dan oleh 13.000 dari 20.000 buruh kereta api. Juga buruh bangsa Eropa ambil bagian dalam pemogokan ini. Pemogokan ini oleh pemerintah dinyatakan di luar hukum. Di daerah-daerah di mana terjadi pemogokan hak berapat sangat dipersempit, sedangkan propaganda pemogokan diancam dengan hukuman (artikel 161 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Dengan sangat membatasi hak berapat dan dengan larangan berpropaganda, pemerintah berusaha memisahkan pemimpin-pemimpin buruh dari massa kaum buruh. Dalam bulan Mei itu juga pemogokan dapat ditindas oleh pemerintah. Dengan putusan Pemerintah tanggal 3 Agustus 1923, Semaun diasingkan ke Timor, tetapi atas permintaannya sendiri Semaun diberi kesempatan untuk meninggalkan Indonesia.
Demikianlah pemerintah Hindia Belanda membikin lumpuh serikat buruh-serikat buruh yang terbesar: PFB dalam bulan Agustus 1920, PPPB dalam bulan Januari 1922 dan VSTP dalam bulan Mei 1923. Tetapi dengan ini samasekali tidak berarti bahwa aktivitas gerakan buruh revolusioner menjadi berhenti, dan juga tidak berarti bahwa pengaruh kaum Komunis menjadi berkurang. Malahan apa yang kita lihat ialah, bahwa pemecatan-pemecatan terhadap buruh pegadaian dan buruh kereta api, telah menyebabkan lahirnya pemimpin-pemimpin baru dari kalangan pemogok yang dipecat. Ini juga antara lain yang menyebabkan, bahwa sehabis tiap-tiap pemogokan besar timbul beberapa serikat buruh baru yang dipimpin oleh kaum, pemogok yang dipecat. Dan dari mereka tidak sedikit juga kemudian menjadi pemimpin SI, Serikat Rakyat dan PKI. Kaum buruh Indonesia mendapat pengalaman, bahwa dalam keadaan yang paling sulit, di mana krisis menimpa nasib kaum buruh yang memang sudah celaka, kaum Komunis Indonesia dengan PKI sebagai Partainya, berdiri di depan memberikan pimpinan dan pembelaannya, walaupun kaum Komunis sendiri berada dalam ancaman penjara dan buangan. Pengalaman kaum buruh Indonesia sendiri memberi pelajaran, bahwa hanya kaum revolusioner yang setia pada perjuangan kaum buruh, sebagai kebalikan daripada kaum reformis, yang meninggalkan barisan kaum buruh di kala topan reaksi sedang mengamuk. Kaum buruh Indonesia mendapat pelajaran, bahwa omongan-omongan “keras” dan “radikal” dari pemimpin-pemimpin reformis dalam keadaan di mana tidak ada perjuangan hidup-mati antara buruh dengan majikan belum bisa dijadikan ukuran bahwa dalam keadaan pertarungan melawan majikan mereka akan memihak kaum buruh.
Atas inisiatif Gabungan Serikatburuh Internasional Merah (Profintern) dalam bulan Juni 1924 diadakan konferensi buruh transport Pasifik di Kanton. Dalam konferensi ini hadir wakil-wakil buruh pelajaran dan pelabuhan dari pelabuhan-pelabuhan yang penting di daerah Pasifik. Dari Indonesia hadir Alimin dan Budisutjitro, dan mereka kecuali menghadiri konferensi juga bertemu dengan Dr. Sun Yat Sen, yang ketika itu memimpin revolusi Tiongkok. Dalam konferensi ini antara lain diputuskan, untuk mengeratkan hubungan buruh transport di daerah Pasifik, membentuk kantor yang berkedudukan di Kanton dengan bagian-bagiannya untuk Tiongkok, Filipina, Jepang, India dan Indonesia.
Dalam keadaan di mana gerakan Buruh baru mendapat pukulan dari reaksi, dimana hal-hal demokrasi yang sudah sempit makin hari makin dibatasi, dan pemimpin-pemimpin buruh banyak yang dibuang atau diasingkan ke luar negeri, maka sangatlah besar artinya Kongres PKI dalam bulan Desember 1924 di Kota Gede, Yogyakarta. Ketika itu PKI mempunyai 38 Seksi yang meliputi 1.140 anggota, sedangkan Serikat Rakyat, “Onderbouw” PKI, ketika itu mempunyai 46 Seksi dan meliputi 31.000 anggota. Kongres ini diketuai oleh Alimin, dan hadir pula dalam Kongres ini Budisoetjitro, Darsono, Musso, Aliarcham, dan lain-lain. Alimin menyampaikan hasil perkunjungannya ke Konferensi transpor daerah Pasifik. Acara yang terpenting dalam Kongres ini ialah membicarakan usul Aliarcham yang menghendaki pembubaran Serikat Rakyat dan pekerjaan Partai supaya dipusatkan pada Serikatburuh. Alasan Aliarcham ialah, karena dalam SR tergabung massa borjuis kecil, dan massa borjuis kecil adalah tidak bisa dipercaya dalam semua aksi. Usul Aliarcham mendapat tentangan yang sengit, karena Kongres yang sebelumnya telah mengakui SR sebagai “Onderbouw” PKI. Akhirnya diambil putusan yang tidak jelas, yaitu bahwa tidak lagi akan didirikan cabang-cabang SR yang baru, dan anggota SR yang telah ada sedapatnya dijadikan anggota PKI.
Walaupun memang tidak tepat SR disusun sebagai “Onderbouw” PKI, tetapi dari putusan mengenai pembekuan SR dengan alasan bahwa dalam SR banyak elemen borjuis kecil jelaslah bahwa PKI ketika itu belum mengerti pentingnya persatuan kaum Buruh dengan kelas borjuis kecil, terutama kaum tani, sebagai basis daripada front persatuan nasional untuk menuju Indonesia Merdeka. Kesalahan ini sama dengan kesalahan yang ada pada aliran Marxis “Kiri” di Eropa Barat, yaitu pemandangan yang salah mengenai kaum tani dan mengenai gerakan nasional. Oleh karena itu laporan Semaun dalam pleno ke 6 dari Komintern (tanggal 21 Maret dan 6 April 1925), yang menyatakan bahwa Gerakan Nasional merugikan PKI dikritik oleh konferensi Komintern. Tentang Serikat Rakyat yang ketika itu sudah berakar di masyarakat tidak dinyatakan mesti dibubarkan, tetapi “Adalah perlu, bahwa SR memisahkan diri sebagai organisasi yang berdiri sendiri. SR harus tumbuh menjadi partai nasional demokratis yang bersifat massa dengan programnya sendiri, di mana yang harus diperhatikan ialah soal-soal agraria dan organisasi tani yang bersifat koperatif”.
Putusan bahwa anggota SR sebanyak-banyaknya akan dijadikan anggota PKI, agar perlahan-lahan dapat melikuidasi SR, adalah menimbulkan bahaya, bahwa justru karena putusan ini, terbuka pintu PKI bagi elemen-elemen borjuis kecil yang dianggap sebagai elemen yang “tidak bisa dipercaya” itu. Kemudian ternyata, bahwa membubarkan SR memang tidak mudah, demikian juga menjadikan SR suatu organisasi yang berdiri sendiri lepas dari PKI. Pengalaman revolusi Rakyat (tahun 1945-1948) menunjukkan, bahwa kaum tani ada lebih baik diorganisasi oleh organisasi massa tani yang biasa, daripada oleh SR yang sulit sekali dan banyak makan waktu jika hendak dipisahkan dari PKI. Oleh karena itu pimpinan PKI memutuskan untuk meniadakan SR dan memperkuat organisasi-organisasi' massa kaum tani yang juga sudah mempunyai program yang baik dan nama yang baik di kalangan kaum tani Indonesia.
Akibat dari putusan Kongres PKI di Jogja itu, yang menitik beratkan pekerjaannya di kalangan kaum buruh, memang menimbulkan kegiatan yang sangat besar dalam gerakan buruh. Di mana-mana kaum Komunis berusaha membangunkan dan memimpin serikat buruh. Di kalangan pegawai negeri dan buruh perusahaan pemerintah, perusahaan pengangkutan, industri dan tambang terutama di Surabaya, kota pusat perdagangan dan industri, transportasi darat dan laut, pengaruh kaum Komunis sangat besar.
Pada akhir bulan Desember 1924 di Surabaya diadakan konferensi buruh pelabuhan dan pelajaran. Dalam konferensi ini nampak sekali betapa besarnya pengaruh konferensi buruh transportasi daerah Pasifik di Kanton, dan ini telah mendorong buruh pelabuhan dan pelajaran Indonesia untuk lebih mempersatukan diri. Demikianlah terjadi penggabungan antara Serikat Laut dan Gudang di Semarang dengan Serikat Kaum Buruh Pelabuhan di Jakarta dan Surabaya menjadi SPPL (Serikat Pegawai Pelabuhan dan Lautan), dan SPPL dirancangkan digabungkan dengan SPLI (Serikat Pegawai Laut Indonesia), yaitu organisasi anak kapal Indonesia yang didirikan oleh Semaun di Amsterdam pada kira-kira pertengahan tahun 1924. Selain daripada itu, juga di Surabaya, dalam rapat yang dihadiri serikat buruh-buruh kereta api, pegadaian, douane, gula, minyak, dan lain-lain diputuskan mengadakan Sekretariat Serikatburuh Indonesia Merah, yang akan masuk menjadi anggota Gabungan Serikatburuh Internasional Merah (Profintern) di Moskow dan juga menjadi anggota Pan Pacific Labour Union di Kanton.
Tanggal 21 Juli 1925 pecah pemogokan buruh percetakan di bawah pimpinan Serikatburuh Cetak di Semarang, mula-mula hanya di satu perusahaan, tetapi kemudian menjalar ke percetakan-percetakan lain. Tanggal 1 Agustus 1925 pecah pemogokan di Rumah Sakit Umum Negeri (CBZ) Semarang, sebagai protes terhadap perbuatan angkuh dan keras dari dokter bangsa Belanda. Serikat buruh pegawai Rumah Sakit Umum adalah anggota dari vaksentral PVH, yang pada waktu itu mengikat 20 serikat buruh yang meliputi 30.000 anggota. Bersamaan waktunya, terjadi juga pemogokan buruh transportasi pada Semarangse Stoomboot- dan Prauwenveer di bawah pimpinan SPPL, di mana ikut serta 1.000 kapten dan matros-matros kapal bangsa Indonesia.
Takut kalau-kalau pemogokan menjalar lebih jauh, dan untuk menjaga apa yang dinamakan “ketertiban umum”, pemerintah Hindia Belanda berusaha memisahkan pemimpin buruh yang masih ada (sebagian sudah dibuang) dari massa kaum buruh. Dengan putusan Pemerintah tanggal 17 Desember 1925, tiga orang yang tersangkut sebagai pemimpin pemogokan, yaitu Aliarcham, Mardjohan, dan Darsono diinternir, sedang Alimin dan Musso masih sempat meloloskan diri dari Indonesia. Dalam bulan Januari 1926 Darsono diizinkan meninggalkan Indonesia dan dia pergi keluar negeri.
Keadaan di mana gerakan buruh kehilangan banyak pemimpinannya, di mana PKI kehilangan kader-kadernya yang penting dan di mana PKI belum mendapatkan teori yang tepat dalam menyusun dan memobilisasi kekuatan Rakyat melawan imperialisme dan feodalisme, menempatkan kedudukan PKI dan kelas buruh Indonesia dalam keadaan yang sangat sulit ketika terjadi pemberontakan kaum tani, yang dimulai pada malam tanggal 12-13 November 1926 di Menes (Banten) dan kemudian menjalar ke berbagai tempat di Jawa; sedangkan di Sumatera pemberontakan dimulai pada awal 1927. Dan adanya pemberontakan kaum tani yang tidak terpimpin dengan baik ini, sudah tentu digunakan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai kesempatan untuk lebih menghancurkan gerakan buruh dan PKI, dan tentu dengan fitnahan bahwa pemberontakan “direncanakan oleh PKI”. Padahal tindakan pemerintah-pemerintah Belanda sendiri yang provokatif, yang menimbulkan kemarahan-kemarahan Rakyat, dengan jalan mengadakan pembatasan hak bersidang dan hak berbicara, dengan mengadakan larangan terhadap sekolah-sekolah Serikat Rakyat tahun 1924 yang menyebabkan kaum tani mengadakan perlawanan-perlawanan mempertahankan sekolahnya, dengan membuang pemimpin-pemimpin Rakyat, dengan mengadakan kekangan pers dan pemberangusan puluhan majalah kaum buruh dan Komunis, menangkapi redaktur-redaktur kaum buruh dan Komunis, dengan mengadakan penyerbuan terhadap kantor-kantor serikat buruh dan menangkapi aktivis-aktivis serikat buruh, dengan mengadakan barisan teror yang terkena1 dengan nama “Sarekat Hejo”, dan banyak lagi tindakan-tindakan pemerintah Belanda yang menimbulkan kemarahan Rakyat. Selain daripada itu politik kolonial telah membikin nasib kaum buruh dan kaum tani makin hari makin lebih merosot dan akhirnya tak tertahankan lagi.
Walaupun PKI, sesudah pemberontakan terjadi, berusaha untuk memberikan pimpinan sedapat-dapatnya dan Rakyat mengadakan perlawanan yang perwira, tetapi akhirnya pemberontakan kaum tani itu bisa ditindas satu persatu. Dengan kekejaman yang luar biasa pemerintah menggunakan tangan besinya. Dalam keadaan demikian, watak kaum reformis seperti Haji Agus Salim cs sudah sama sekali tidak bisa disembunyikan lagi. Mereka terang-terangan memihak pemerintah kolonial dan pada hakikatnya mereka bergembira karena kekuatan Rakyat dirusakbinasakan oleh reaksi. Dalam menghadapi hukuman mati yang dijatuhkan oleh pemerintah Hindia Belanda terhadap pemberontak-pemberontak yang perwira, kaum sosial demokrat dan kaum reformis lainnya pada prinsipnya menyetujui tindakan pemerintah, dan mereka hanya memohon pada pemerintah jajahan supaya yang dihukum ialah orang-orang yang disebutnya “bersalah”.
Pemberontakan tahun 1926-1927 dapat ditindas oleh pemerintah kolonial. Kekalahan Rakyat dalam pemberontakan ini membawa kerusakan-kerusakan pada gerakan kemerdekaan, dan inilah yang dituju oleh imperialis Belanda. Tetapi sebaliknya, kekalahan pemberontakan tahun 1926-1927 telah memberi pelajaran pada PKI dan Rakyat Indonesia. Pemberontakan tahun 1926-1927 telah mengalami kekalahan karena tidak direncanakan, dan dengan sendirinya tidak ada pimpinan terpusat yang kuat sehingga tidak mungkin ada koordinasi antara aksi-aksi di berbagai daerah. PKI pada waktu itu tidak mempunyai program agraria yang sudah dipikirkan matang, yang jelas dan revolusioner, yang bisa dipakai sebagai dasar dari aksi-aksi kaum tani. Dengan tidak adanya program agraria dari PKI, tidak mungkin ada hubungan antara tuntutan-tuntutan kaum buruh di kota dengan tuntutan-tuntutan kaum tani di desa yang berada dalam keadaan lebih tertindas. Demikianlah kita lihat, pemogokan-pemogokan kaum buruh sebelum tahun 1926 tidak mendapat sambutan kaum tani di desa-desa dan perlawanan-perlawanan kaum tani di desa-desa tidak mendapat pimpinan secara teratur dari kelas buruh dan dari Partainya, yaitu PKI. Selain daripada itu pekerjaan menarik kaum terpelajar dan kaum pengusaha nasional, yang pada waktu itu juga tidak puas terhadap kolonialisme, sangat diabaikan, malahan slogan-slogan yang menuntut “sosialisme”, “soviet” dan “diktator proletariat”, seperti yang diputuskan oleh konferensi PKI tanggal 7-10 Juni 1924 di Jakarta, telah membikin kaget kelas-kelas ini dan menjauhkan mereka dari perjuangan revolusioner melawan imperialisme dan feodalisme.
Gerakan kaum buruh dan gerakan revolusioner Indonesia mendapat pukulan yang lebih besar lagi dengan perbuatan Tan Malaka yang bersifat melikuidasi PKI dan mendirikan PARI (Partai Republik Indonesia) pada pertengahan tahun 1927 di luar negeri (Tan Malaka tahun 1922 dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda dari Indonesia berhubung dengan pemogokan buruh pegadaian). Likuidasi-isme Tan Malaka telah memperbesar kekalahan pemberontakan, dan telah memberikan didikan yang jelek pada gerakan revolusioner Indonesia, karena akibatnya telah menimbulkan perpecahan yang besar dalam barisan revolusioner serta memberi kemungkinan-kemungkinan istimewa pada aparat Belanda (kemudian Jepang) untuk memecah belah dan merusak PKI serta gerakan revolusioner umumnya yang pada waktu itu terpaksa bekerja di bawah tanah.
Semacam kapitulasi sudah dilakukan oleh Semaun dalam bulan Desember 1926, jadi ketika pemberontakan sedang hangat-hangatnya di Indonesia. Pada malam tanggal 5 Desember 1926 terjadilah suatu peristiwa yang sangat menyedihkan bagi proletariat dan Rakyat Indonesia, karena pada malam itu Semaun, sebagai wakil PKI mengadakan kontrak dengan Mohammad Hatta, sebagai wakil PI (Perhimpunan Indonesia). Kontrak ini dibikin di Leiden dan isinya adalah menghina proletariat dan Rakyat Indonesia, apalagi di mana Rakyat sedang mengadakan pemberontakan yang perwira melawan penjajahan Belanda. Di dalam kontrak itu jelas dikatakan bahwa PKI harus menyerahkan pimpinan gerakan Rakyat pada PI. Tidak hanya itu, PKI juga diwajibkan mengakui pimpinan PI, harus mempercayai PI dengan sepenuh hati dan menyerahkan semua kekayaannya yang ada pada PI. Dengan sendirinya, kapitulasi Semaun sebagai wakil proletariat Indonesia kepada Mohammad Hatta, disambut oleh kaum borjuis sebagai suatu kemenangan yang besar, dan Hatta sebagai triomfatornya. Dengarkan isi kalbu kaum borjuis dalam menyambut kemenangan mereka ini: “Semaun, yang di Jawa terlihat sebagai sebuah gunung di atas sebuah dataran, adalah seorang yang biasa saja di tengah pelajar-pelajar yang bersenjatakan pengetahuan ekonomi dan politik yang luas” (A.K. Pringgodigdo dalam buku Sedjarah Pergerakan Rakyat Indonesia halaman 63). Sombong sekali ucapan ini, tetapi demikianlah kemenangan sementara ini disambut oleh golongan borjuis Indonesia. Tetapi akhirnya mereka kecewa dan gigit jari, karena dengan menundukkan Semaun tidak berarti mereka bisa menundukkan proletariat, karena segera sesudah itu Komintern menyalahkan tindakan Semaun sehingga Semaun terpaksa mencabut kontraknya dengan lekas dan dengan terang-terangan.
Dengan dibuangnya pemimpin-pemimpin buruh seperti diterangkan di atas dan dengan adanya larangan bersidang, berarti pukulan yang keras bagi vaksentral PVH. Apalagi sesudah pemberontakan tahun 1926, yang mengakibatkan kaum Komunis dibunuh, dipenjarakan dan dibuang, pada waktu itu boleh dikata PVH tidak berdaya lagi, sekalipun sebagian serikat buruh-serikat buruh anggota PVH masih terus berdiri.
SI yang selama ada pemogokan-pemogokan berdiri di luar pemogokan, berusaha untuk mengambil pimpinan serikat buruh yang terpaksa ditinggalkan oleh kaum Komunis karena dimasukkan penjara atau dibuang. Walaupun tidak ada saingan dari kaum Komunis, keadaan sudah tidak mungkin bagi SI untuk mengambil pimpinan serikat buruh-serikat buruh. Tentang ini diterangkan oleh A.K. Pringgodigdo dalam bukunya Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia di halaman 99 sebagai berikut:
“Akan tetapi SI tidak berdaya lagi untuk memperbaiki kembali hubungan di antara macam-macam serikat sekerja yang telah putus itu; pengaruh SI sudah terlampau turun. SI hanya dapat berpengaruh di dalam perkumpulan pegawai pegadaian yang diketuai oleh Surjopranoto; perkumpulan ini sesudah pemogokan pegadaian sangat jinak, ia kehilangan anggota-anggota yang bersikap berani”.
Sorry ya ang adin copas dari blog tetangga dan ingin lebih tahu baca di https://www.marxists.org